“Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di
Hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkau lah
kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” ( QS.
Al-Fatihah : 1-7)
Surah
Al-fatihah, sesuai namanya sebagai pembuka Quran. Surah yang dibaca
berulang-ulang oleh setiap muslim, menjadi salah satu rukun dalam ibadah shalat
seorang hamba. Dalam surah ini Allah menjawab setiap lantunan doa nan mesra
dari seorang ‘abid yang ihsan pada shalatnya. Demikian mulia
surah ini mengambil peran dalam ibadah dan doa seorang hamba, hingga ia
berjuluk Ummul Quran / Ibu Quran.
Makkah
Al Mukaromah, kota yang Allah subhannahu wa ta’ala sucikan tanahnya. Tanah
keberadaan Ka’bah yang dikelilingi Masjidil Haram, di mana seluruh umat dunia
disatukan dalam satu arah kiblat. Tempat Nabi Allah yang hanif; Ibrahim
‘alaihissallam menempatkan keluarganya atas perintah Allah subhannahu wa
ta’ala. Sehingga kecemasan seorang ibu (Siti Hajar) yang berlari antara Bukit
Shafa dan Marwah, Allah jadikan bagian dari rukun ibadah Haji.
Di
gersangnya pasir itu Allah azza wa jalla alirkan mata air penuh berkah (Zamzam)
dari hentakan kaki seorang anak yang dikemudian hari Allah muliakan dengan
kenabian, Ismail ‘alaihissallam. Tempat kelahiran Rasulullah Muhammad
shalallahu’ allaihi wa sallam, yang setelah ditaklukkan oleh cahaya Islam
kejadiannya (Fathul Makkah) menjadi sebab turunnya Quran surah An-Nashr ayat
110. Kota suci yang dinamai juga dengan Ummul Qura’/ Ibu dari kota-kota.
Kata
“Ibu” menjadi istilah yang begitu mulia, dan memang memiliki peran yang Allah
subhannahu wa ta’ala muliakan. Manusia bergelar “Ibu” yang dengan berjuta peran
dan kasih sayangnya, Rasulullah shalallahu’ alaihi wa sallam pesankan untuk
berbakti padanya dan bakti itu Allah jadikan sebagai salah satu amalan yang
dicintai-Nya. Bagaimana kasih ibu digambarkan Rasulullah shalallahu’ allaihi wa
sallam:
“Dari Umar bin Al Khaththab RA berkata: Didatangkanlah para tawanan perang kepada Rasulullah SAW. Maka di antara tawanan itu terdapat seorang wanita yang siap menyusui berjalan bergegas mencari anaknya yang hilang – sehingga ia menemukan seorang anak kecil dalam kelompok tawanan itu – ia segera menggendong, dan menyusuinya. Lalu Nabi Muhammad SAW bersabda: Akankah kalian melihat ibu ini melemparkan anaknya ke dalam api? Kami menjawab: Tidak, dan ia mampu untuk tidak melemparkannya.
Lalu Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah lebih
sayang kepada hamba-Nya, melebihi sayangnya ibu ini kepada anaknya” (HR. Al
Bukhari dan Muslim). “Rasulullah SAW melintasi sekelompok sahabatnya – ada
seorang anak kecil di tengah jalan. Ketika ibunya melihat hal itu, ibu itu
ketakutan bahwa anaknya akan jatuh, lalu ia bergegas menghampiri dan
memanggil-manggil: anakku-anakku, ibu itu berjalan cepat, dan mengambilnya.
Para
sahabat bertanya: Ibu ini tidak akan melemparkan anaknya ke dalam api.
Rasulullah SAW bersabda: Dan Allah tidak akan melemparkan kekasihnya ke dalam
api neraka. Dan Allah tidak akan melemparkan kekasihnya ke dalam api neraka.
(HR. Imam Ahmad dan Al Hakim dari Anas).
Dari
hadist tersebut di atas kita dapati banyak pelajaran, terdapat dua kasih sayang
yang tergambar. Begitu besar kasih sayang Allah yang Maha Pencipta dan Maha
Pemelihara kepada hambanya. Dan, secara naluriah kita dapati kasih ibu adalah
begitu besar kepada anaknya.
Keberadaan yang sering di rumah sakit, menjadikan penulis melihat banyak naluri kasih sayang ibu yang begitu besar pada anaknya. Beberapa diantara kesempatan itu; Ada seorang pasien laki-laki tua berusia 68 tahun dirawat di salah satu ruang rawat inap, dari gejala dan keluhannya bapak tersebut terserang stroke.
Keadaan
berkurangnya kemampuan bicara, bergerak, dan memori adalah wajar ditemukan pada
pasien dengan penyakit demikian. Dengan ditemani seorang wanita tua yang sejak
awal menemaninya didapati sang bapak terkena serangan stroke setelah bermain
bola, olahraga yang memang biasa dilakukannya.
Keesokan harinya, kami dapati cerita dari
petugas malam rumah sakit bagaimana tangisan dan doa sang wanita tua di malam
hari itu, yang kemudian beliau bercerita langsung begitu syahdu dan terisak
kepada penulis. Menyadarkan banyak keadaan, ternyata retardasi mental
(penurunan tingkat kecerdasan) pada si bapak bukan baru terjadi setelah
serangan melainkan bawaan sejak lahir.
Aktivitas
bermain bola si bapak yang menjadi kebiasaannya adalah bermain dengan anak-anak
yang berusia sekolah dasar. Dan, ibu tua yang awalnya kami duga istri si bapak
ternyata adalah ibunya. Dari cara sang ibu merawat dan menyuapi terlihat
bagaimana kasih sayangnya yang bergitu besar, dan itu semua dilakukan selama
lebih dari 68 tahun.
Di
kesempatan lain, ada seorang ibu yang setia menjaga anak bayinya dengan sindrom
down (keadaan bawaan, turunnya kemampuan tubuh secara umum dari manusia normal)
sehingga harus dirawat dalam waktu yang cukup lama di rumah sakit. Dengan mata
sembabnya sang ibu biasa mengadukan keadaan anaknya ke ruang perawat dengan
begitu khawatir. Satu kesempatan karena kemampuan makan rendah, bayi kecilnya
akan dipasang alat bantu makan melalui selang yang dimasukkan ke lambungnya
oleh dua orang perawat. Saat itu ibunya justru mendekat ke jendela dan menatap
keluar, karena tidak tega melihat prosesnya.
Dengan
jarak yang cukup dekat, jelas terlihat sang ibu terus menangis dan mengalirkan
air matanya. Sesekali bayinya tersedak karena selang yang sedang dimasukkan,
terdengar sahutan isak dan tangis sang ibu yang menjadi jelas terdengar. Hingga
ketika selesai proses yang ia tidak tega bahkan untuk melihatnya, segera diraih
sang bayi dalam pelukan hangat kasih sayang disertai air mata yang sedari tadi
belum berhenti mengalir.
Begitu
banyak potret kasih sayang ibu yang kita dapati di manapun keberadaannya.
Bahkan sejak awal kelahiran sang buah hati, mungkin baru beberapa detik gelar
“ibu” didapatinya. Seakan terlupakan rasa sakit yang baru saja dirasakan, konon
sakitnya melahirkan seperti rasa sakit patahnya 20 tulang dalam waktu bersamaan
(meski dapat berkurang), ditambah waktu berbulan-bulan mengandung. Hal pertama
yang ingin ditemui sang ibu adalah anaknya, langsung disambut dengan pelukan
hangat dan segera menyusui dengan air susu terbaiknya.
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a:
“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Ahqaaf : 15).
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)
Ibu
yang kasih sayangnya mengalahkan matahari pada bumi. Ibu tidak akan melewatkan
kesempatan menjaga anaknya, bahkan dalam doanya. Ibu yang terus memikirkan
anaknya, sampai detik ini sang anak tidak tahu dengan apa akan membalas semua
kasih sayang ibunya. Bahkan, bahagia ibu adalah ketika melihat sang buah hati
bahagia. Kasih sayangnya seperti sungai yang terus mengalir airnya.
Ditulis
oleh seorang anak yang belum banyak berbakti pada ibunya. Belum bisa berbakti
sedemikian Uwais Al Qarni radhiallahu’anhu yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam pesankan kepada Umar bin khatthab dan Ali bin Abi Thalib
radhiallahu’anhum jika bertemu minta padanya memohonkan ampunan kepada Allah
azza wa jalla, padahal rasulullah belum pernah bersua dengannya. Disebabkan
bakti yang bersegera dan kegigihannya menggendong sang ibu menunaikan ibadah
haji melewati padang pasir tandus dan panas.
(Rdiha
Setiawan)
0 komentar:
Posting Komentar