Oleh: Badiatul Muchlisin Asti
Anak merupakan
investasi masa depan orangtua, di dunia maupun di akhirat. Karenanya, orangtua
perlu berikhtiar untuk mendidik anaknya dengan baik, agar bisa tumbuh menjadi
pribadi yang berkarakter. Bagaimana caranya?
Setidaknya ada empat
pilar penting dalam membentuk karakter anak muslim.Pertama adalah pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai
Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan. Di rumah, nilai-nilai Islam harus
termanifestasi dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Anak harus merasakan itu
sebagai pengalaman batin yang akan membentuk karakter dirinya. Suasana rumah
menjadi pondamen penting bagi pembentukan karakter anak selanjutnya, baik di
sekolah maupun di pergaulan nantinya.
Kedua, perlunya mengembangan
multi kecerdasan anak. Adalah salah kaprah membatasi kecerdasan anak hanya pada
ranah kognitif saja. Sehingga anak yang tidak mendapatkan prestasi akademik
yang baik, dianggap sebagai anak yang bodoh dan tidak bermasa depan. Orangtua
perlu menyadari ini, sehingga tidak melulu menuntut anak mengejar prestasi
akademik tinggi, sehingga justru melupakan “kecerdasan” anak yang sesungguhnya.
Kecerdasan seseorang
dapat dilihat dari banyak dimensi, karena kecerdasan memiliki makna yang luas.
Pakar multiple intellegence Howard
Garner menyebutkan 8 bentuk kecerdasan, yakni: kecerdasan linguistik,
matematis-logis, visual-spasial, musikal, kinestetik, interpersonal,
intrapersonal, dan naturalis.
Setiap anak pasti
memiliki kecenderungan jenis kecerdasan tertentu. Kecenderungan tersebut harus
ditemukan melalui pencarian kecerdasan (discovering
ability). Para orangtua atau guru
bisa berperan dalam proses pencarian kecerdasan ini, sehingga potensi dan bakat
anak dapat dikembangkan secara optimal.
Ketiga, pembentukan kebiasaan
atau habit forming. Dalam
upaya membentuk anak muslim yang berkarakter, habbit (kebiasaan) menjadi salah satu pilar penting
yang tidak boleh diabaikan. Meski harus dimulai dari kesadaran hati, namun
untuk menjadi sebuah karakter kepribadian, diperlukan proses pembiasaan dalam
jangka panjang, kontinu, dan berkelanjutan.
Pengabaian
terhadap habbit forming akan
memunculkan kepribadian yang pecah(split
personality), di mana seseorang menyadari dan meyakini kebenaran
atau kemuliaan suatu ajaran, namun tidak mampu mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari, karena tidak terbiasa dan terlatih. Dalam hal ini, anak tidak
hanya dididik untuk tahu (kognitif), mampu (bisa/keterampilan), dan mau (kesadaran),
namun juga terbentuk (terinternalisasi menjadi bagian dari kepribadian).
Sebagai contoh, shalat
tidak hanya diajarkan dari sudut kaifiyat (tata
pelaksanaannya)-nya saja, namun harus melalui penyadaran, belajar langsung dari
praktik keseharian, pembiasaan, dan keteladanan. Demikian juga pada aspek-aspek
yang lain.
Keempat adalah
keteladanan (uswatun hasanah).
Keteladanan menjadi faktor superpenting dalam membentuk pribadi anak yang
berkualitas dan berkarakter. Orantua harus menjadi contoh nyata (uswatun hasanah) bagi anak-anaknya.
Hal
ini terjadi karena secara naluriah dalam diri anak ada potensi untuk meniru
hal-hal yang ada di sekitarnya. Pada usia dini, keteladanan orangtua sangat
berpengaruh terhadap kepribadian anak. Segala yang dilakukan oleh orangtua
dianggapnya selalu benar dan paling baik. Maka, secara otomatis anak akan mudah
menirunya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar