Dalam sebuah kunjungan ke sebuah pesantren
tahfizh untuk anak-anak di Indonesia, seorang dosen Universitas Islam Madinah
menangis.
Iatidak tega melihat anak-anak usia 6-12 tahun yang harus berpisah dan tinggal jauh dari kedua orangtuanya. Menurut teori pendidikan yang ia pelajari, anak-anak seusia mereka semestinya tidak dipisahkan dari kasih sayang ayah ibunda mereka.
Iatidak tega melihat anak-anak usia 6-12 tahun yang harus berpisah dan tinggal jauh dari kedua orangtuanya. Menurut teori pendidikan yang ia pelajari, anak-anak seusia mereka semestinya tidak dipisahkan dari kasih sayang ayah ibunda mereka.
SEBUAH REALITA
Ya, Indonesia memang tidak sama dengan Saudi
Arabia. Kesibukan orang tua, dan terlebih lingkungan yang demikian memprihatinkan
telah mendesak para orang tua untuk memasukkan putra-putri mereka ke pesantren,
bahkan sejak masih kanak-kanak. Hal itu menjadi salah satu pilihan yang paling
masuk akal jika ingin anak-anak mereka selamat dari dampak buruk globalisasi.
Inilah udzur mereka jika memang benar mereka menyelisihi kaidah pendidikan
anak.
Di Saudi, dengan mudah kita bisa mendapatkan
anak-anak yang berjamaah shalat Asar di masjid kampung, kemudian menghafal
al-Quran sambil duduk melingkar dengan bimbingan ustadz mereka. Sesekali,
-dasar anak-anak- mereka terlihat saling bercanda. Menyejukkan sekali
pemandangan seperti ini. Setelah itu mereka pulang ke rumah dan berinteraksi
dengan orang tua dan lingkungan mereka. Alami sekali! Lingkungan yang relatif
masih aman, ditambah adanya halaqah-halaqah tahfizh di masjid-masjid
kampung seperti ini dirasa cukup, sehingga tidak ada dorongan untuk
menyekolahkan anak di sekolah berasrama. Karenanya jarang sekali kita temukan
sekolah berasrama di sana, apalagi untuk anak usia SD.
Potensi besar, BELUM TERGARAP
Berbicara mengenai potensi madrasah sore,
sebenarnya Indonesia tidak kalah. Hampir setiap kampung memiliki Taman
Pendidikan Al-Quran (TPA/TPQ). TPA/TPQ ini laksana benteng yang tersebar di
seluruh pelosok negeri. Di sebagian daerah, bahkan TPA/TPQ ini dikelola dengan
sangat profesional. Hanya saja, ilmu yang diajarkan di dalamnya masih banyak
yang perlu dikoreksi. Porsi BCM (Bermain, Cerita dan Menyanyi) sangat besar.
Waktu belajar yang hanya 1-2 jam menjadi jauh dari efisien.
Materi cerita acap kali disusupi cerita-cerita fiksi yang tidak banyak kita rasakan manfaatnya. Adapun menyanyi, fahaddits wala haraj (kritiklah sesuka hati), apalagi kalau dilakukan di masjid. Anak-anak yang sudah seharian bermain harus bermain lagi di TPA. Dalam beberapa kasus yang ditemui, anak-anak tampak terampil dalam banyak hal kecuali mengaji.
Materi cerita acap kali disusupi cerita-cerita fiksi yang tidak banyak kita rasakan manfaatnya. Adapun menyanyi, fahaddits wala haraj (kritiklah sesuka hati), apalagi kalau dilakukan di masjid. Anak-anak yang sudah seharian bermain harus bermain lagi di TPA. Dalam beberapa kasus yang ditemui, anak-anak tampak terampil dalam banyak hal kecuali mengaji.
Merubah paradigma TPA.
Di kalangan masyarakat pecinta sunnah,
konsep madrasah seperti ini mulai dirubah. Anak didik lebih diarahkan pada
pengembangan potensi yang sesuai dengan usia mereka, tanpa mengabaikan
rambu-rambu syariat.. Daya hafal yang sedang begitu kuatnya diberikan porsinya
yang sesuai. Kemampuan belajar baca tulis juga diasah. Bermain boleh, tapi
seperlunya, toh di rumah akan banyak main lagi.
Sebuah TK di Solo, rata-rata tamatannya hafal juz
'Amma dan lancar baca tulis. Tamatannya kesulitan mencari SD yang pas menampung
mereka jika terpaksa meneruskan SD di tempat lain. Di Yogya, bahkan ada TK yang
rata-rata tamatannya hafal 2 juz al-Quran. Tentu membuat minder mereka
yang ketika tamat pesantren belum lancar hafalan juz 'Amma.
Pendidikan yang Islami ternyata tidak hanya
membuat anak didik unggul dalam bidang agama. Karena anugerah Allah, dengan
fasilitas dan biaya tidak seberapa, sebuah SD di Yogya pernah meraih peringkat
1 nilai rata-rata Ujian Nasional se-Indonesia.
Beberapa contoh di atas menambah keyakinan kita
bahwa pendidikan berbasis sunnah tidak bisa di tawar lagi. Hanya saja,
perubahan paradigma madrasah seperti di atas masih sangat sedikit. Cakupannya
masih terbatas pada TKIT atau SDIT yang menerapkan belajar sehari penuh (full
day school). Masih banyak sekali lapisan yang belum tersentuh perbaikan.
Kendalanya, meskipun banyak sekolah terpadu yang
menawarkan harga sangat murah, harga tersebut masih dinilai mahal oleh sebagian
besar umat Islam di negeri kita. Di samping itu, daya tampung sekolah dan jarak
yang lumayan jauh ikut berpengaruh.
Karenanya, pembenahan dan pemberdayaan TPA - yang
sudah begitu memasyarakat sampai ke desa-desa terpencil - sangat dibutuhkan.
Salah satu yang layak kita coba adalah menitikberatkan hafalan Al-Quran pada
kurikulum TPA, sebagaimana dilakukan di negara-negara yang memiliki tradisi
ilmiah kuat. Madrasah sore di negara-negara dengan tradisi ilmu agama kuat berwujud
halaqah-halaqah tahfizh yang dari masa ke masa telah terbukti mencetak
banyak sekali penghafal al-Quran, dan banyak dari mereka yang menyelesaikan
hafalan pada usia yang sangat belia.
Padahal, halaqah-halaqah ini hanya madrasah sore sekelas TPA, bukan pesantren. Membandingkan hal ini dengan output TPA yang ada, rasanya tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa yang terjadi adalah satu bentuk pendangkalan agama dan penurunan kualitas. Jika ada anak kecil yang memiliki banyak hafalan Al-Quran di negeri kita, hampir bisa dipastikan bahwa ia bukanlah produk TPA yang 'umum'.
Padahal, halaqah-halaqah ini hanya madrasah sore sekelas TPA, bukan pesantren. Membandingkan hal ini dengan output TPA yang ada, rasanya tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa yang terjadi adalah satu bentuk pendangkalan agama dan penurunan kualitas. Jika ada anak kecil yang memiliki banyak hafalan Al-Quran di negeri kita, hampir bisa dipastikan bahwa ia bukanlah produk TPA yang 'umum'.
Proyek dakwah strategis.
Masing-masing dari kita bisa memulai perbaikan
ini, dengan mempelajari dari dekat sistim dan kurikulum pengajaran Al-Quran di
TK-TK pelopor, dengan kelebihan dan kekurangannya, kemudian menerapkannya di
TPA yang ada di kampung masing-masing. Insyaallah itu akan menjadi
benih unggul. Ketika hasil pendidikan mulai nampak pada anak didik, maka para
orang tua akan semakin senang. Yang lain juga insyaallah akan berlomba
mencari 'Taman Penghafalan Al-Quran' dan meninggalkan TPA model lama.
Kecenderungan ini bahkan sudah terlihat di masyarakat.
Para orang tua rela capek dan membayar mahal asal anaknya bisa belajar di TPA yang lebih serius meski jauh, daripada membiarkan anaknya 'main-main' di TPA yang dekat. Orang tua yang baik mendambakan anak yang saleh dan hafal al-Quran, bukan anak yang pintar menyanyi.
Para orang tua rela capek dan membayar mahal asal anaknya bisa belajar di TPA yang lebih serius meski jauh, daripada membiarkan anaknya 'main-main' di TPA yang dekat. Orang tua yang baik mendambakan anak yang saleh dan hafal al-Quran, bukan anak yang pintar menyanyi.
Jika demikian. otomatis TPA model lama akan
memperbaiki diri. Barangkali pengurusnya akan mengundang anda untuk menebar
hidayah di sana, atau mereka studi banding ke TPA anda, atau diam-diam
menjiplak sistim pendidikan TPA anda yang tidak perlu diproteksi dengan hak
paten. Apapun yang terjadi, segala puji bagi Allah yang dengan izinNya amal
saleh terlaksana. Yang penting TPA-TPA kita bersih dari pelanggaran syariah dan
diridhai Allah serta menghasilkan buahnya yang manis.
Syukur kalau ke depan ada di antara kita yang bisa menyusun kurikulum yang bisa dijadikan acuan TPA-TPA dengan paradigma baru ini, sebagaimana kurikulum Team Tadarus AMM Yogyakarta saat ini di pakai sedemikian luas.
Syukur kalau ke depan ada di antara kita yang bisa menyusun kurikulum yang bisa dijadikan acuan TPA-TPA dengan paradigma baru ini, sebagaimana kurikulum Team Tadarus AMM Yogyakarta saat ini di pakai sedemikian luas.
Jika lembaga pendidikan agama paling mengakar ini
menjadi lebih baik, insyaallah kita bisa menatap optimis masa depan
Indonesia. Kesadaran orang tua akan pendidikan agama akan semakin tinggi karena
melihat putra-putri mereka tidak hanya bakat dalam sains, tapi juga bakat
menghafal al-Quran. Bukan hanya anak badung dan berkemampuan pas-pasan yang
mereka arahkan untuk mendalami ilmu agama. Lahirnya ulama-ulama pembaharu dari
rahim ibu pertiwi rasanya begitu dekat. Perubahan yang dicita juga lambat laun
akan merambah ke dimensi kehidupan yang lain, karena ridha Allah yang kita
kejar. Allah tidak merubah keadaan kita sampai kita memperbaiki diri. Tanpa
bermaksud meremehkan, tulisan ini dibuat untuk perbaikan TPA yang telah
banyak berjasa dan kita cintai bersama. Wallahu a'lam. (Anas
Burhanuddin, MA)
0 komentar:
Posting Komentar