Oleh: Sholih Hasyim
AMAL seseorang harus bisa
seperti rintik-rintik hujan. Ia susul-menyusul. Dilakukan dengan mudawamah
(terus-menerus), sambung-menyambung dan istiqomah. Jika selesai satu urusan,
mengangkat urusan berikutnya. Tidak ada kamus pensiun beramal bagi seorang
muslim.
Firman Allah Subhanahu
Wata’ala bukan mendiskriditkan kaum wanita. Ini hanya sekedar peristiwa,
ilustrasi, bahwa pernah ada seorang perempuan yang melakukan perbuatan sia-sia
itu. Tentu, pelajaran ini bersifat umum dan bukan hanya persoalan membuat kain.
Tetapi, berkaitan dengan persoalan dalam kehidupan secara keseluruhan.
Disamping itu, kita
sekarang dalam suasana syawalan. Tentu kita merasakan merdeka dari
dominasi dan hegemoni hawa nafsu, syahwat. Syetan juga diikat. Pintu
neraka dikunci rapat-rapat. Pintu surga di buka lebar-lebar. Wajar, kita
merasakan suasana suka cita.Tetapi, yang perlu digaris atasi disini bahwa
bukanlah orang yang berhari raya itu yang berpakaian baru, hanyalah orang yang
berlebaran itu apabila ketaatannya meningkat dan dari perbuatan maksiat semakin
menjauh.
Sehingga setelah hari
raya kita memiliki cadangan ruhani untuk melawan sikap ketergesa-gesaan,
mengelola tantangan, menikmati penderitaan, menghalau kesulitan, menunda
kenikmatan sesaat, menuju kenikmatan yang bersifat permanen/abadi. Kenikmatan
apa pun tidak sebanding dengan kelezatan spiritual. Manisnya ruku’, sujud,
beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
“Tidak seorangpun mengetahui berbagai nikmat
yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang
mereka kerjakan.” (QS. As Sajdah [32] :
17).
Setelah Ramadhan kita
diibaratkan bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibu kita.
“Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa (shoum)
Ramadhan dan aku menyunnahkan shalat Tarawih pada malamnya (qiyam). Barangsiapa
berpuasa dan shalat Tarawih karena iman dan ikhlas semata-mata karena Allah
Subhanahu Wata’ala, maka sesungguhnya dia keluar dari dosa-dosa sebagaimana dia
dulu keluar dari perut ibunya.” (HR. Ahmad)
Alangkah gembiranya
menjadi manusia yang suci. Manusia yang steril dari kontaminasi dosa kepada
Allah Subhanahu Wata’ala dan dosa terhadap sesama manusia. Berkaitan dengan
dosa kepada-Nya kita lebur dengan shoum dan qiyam Ramadhan. Dosa dengan sesama
manusia kita saling memaafkan pada hari raya ‘idul fitri.
Namun, semua bayi dalam
keadaan menangis kecuali bayi ibunda Maryam. Kata ahli sastra Mesir, Syauqi.
“Ibumu melahirkanmu dalam keadaan menangis,
sedangkan orang-orang sekelilingmu dalam keadaan gembira (mendapatkan anggota
keluarga baru yang diharpakan dapat membantu melaksanakan tugas kehidupan).”
Menangis karena tidak
mudah dan sederhana dalam menghadapi carut-marut kehidupan ini. Kehidupan ini
mengalami pasang surut, fluktuatif (naik turun). Kadang muncul, dan kadang
tenggelam.
Mana ada bayi yang lahir
dalam keadaan tersenyum? Mana ada bayi yang dilahirkan dalam keadaan tertawa?
Dan mana ada bayi yang baru dilahirkan berwajah yang berseri-seri?
Bayi lahir dalam keadaan
menangis karena khawatir kesuciannya nanti ternoda. Takut jika bayi nanti
dijerumuskan dan diculik orang lain.
Kita harus meninggalkan
bayi dalam keadaan prihatin dan takut. Kita khawatir anak kita nanti menghadapi
masa yang menjadikan kehidupan mereka hina, terpuruk dalam lumpur kebinasaan.
Menjadi mangsa perdaban jahiliyah yang biadab.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (QS. An Nisa [4] : 9)
Bayangkan bapak/ibu
sekalian, jika bayi yang baru lahir tidak dipelihara dengan baik. Apakah
mungkin menjadi manusia yang baik! Bayi yang baru lahir itu bila tidak dijaga
ekstra ketat, mustahil bisa menyelamatkan dirinya. Ia akan habis digigit
nyamuk, serangga, dan kalajengking. Ia akan menjadi mangsa yang lezat bagi
bintang buas dan berbisa. Sehingga bayi yang semula lucu, sedap dipandang mata,
setelah dewasa menjadi fitnah, bahkan musuh bagi orang tuanya. Keberadaannya
menjadi keprihatinan orang banyak.
Berbeda dengan makhluk
Allah Subhanahu Wata’ala yang lain, begitu lahir langsung berdiri. Bisa cepat
mandiri. Anak ayam baru menetas dari telur, beberapa saat kemudian dapat
membedakan butir beras dan butiran pasir. Tetapi, manusia tidak demikian. Bayi
manusia membutuhkan pemeliharaan dan pendampingan dalam jangka waktu yang lama (mulazamah wal hadhanah).
Memilihara pisik bayi
yang sehat memerlukan perjuangan yang hebat dan berat. Tetapi, jika tidak
dirawat akan mudah terjangkiti penyakit. Lebih-lebih menjaga fitrah sucinya.
Fitrah bayi akan tumbuh dan berkembang dengan Islam. Jika pada bulan Ramadhan,
memelihara fitrah didukung oleh lingkungan internal dan sosial yang kondusif.
Sebaliknya, lepas dari Ramadhan, kita akan berjuang dengan sepi, sendiri. Dan
ini memerlukan perjuangan, mujahadah dan riyadhah yang tidak ringan.
Bayi lahir memerlukan
pendidikan yang dijamin dapat memelihara pisik, ruhani, perasaan, dan potensi
yang melekat dalam dirinya. Pendidikan yang mengembangkan kepribadian manusia
secara seimbang dan utuh. Dikotomi pendidikan, bukan warisan dari peradaban
Islam. Untuk merawat bayi, agar tumbuh berkembang kepribadiannya, sejak dini
biasakanlah senang pergi ke “masjid”, sebaik-baik tempat, dan kembali menyemai
bimbingan ruhani.*
0 komentar:
Posting Komentar