Istiqomah-Orang-orang Anshar
memandang Qais seperti seorang pemimpin, walaupun usianya masih muda. Mereka
mengatakan, “Seandainya kami dapat membelikan janggut untuk Qais dengan
harta kami, niscaya akan kami lakukan.” Hal itu karena wajahnya memang
licin tanpa janggut. Sebenarnya tidak ada suatu pun kekurangan dari sifat-sifat
kepemimpinannya yang lazim terdapat pada adat kebiasaan kaumnya, selain soal
janggut, yang oleh para pria dijadikan sebagai tanda kejantanan pada
wajah-wajah mereka.
Siapakah sejatinya pemuda yang sangat dicintai kaumnya
ini, hingga mereka siap mengorbankan harta untuk membelikan janggut yang akan
menghiasi wajahnya, sebagai penyempurnaan bentuk luarnya bagi kebesaran hakiki
dan kepemimpinan yang tinggi yang sudah ada pada dirinya?
Itulah dia Qais bin Sa’ad bin Ubadah. Ia berasal dari
keluarga Arab paling dermawan dari turunannya yang mulia. Tentang keluarganya,
Rasulullah pernah bersabda, “Kedermawanan menjadi karakter keluarga ini!”
Ia adalah seorang yang cerdik dan pintar menunjukkan tipu
muslihat, kepiawaian, dan kecerdikannya. Ia pernah mengatakan secara jujur
tentang dirinya, “Kalau bukan karena Islam, saya sanggup membuat tipu
muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab mana pun!” karena, ia
adalah seorang yang sangat cerdas, banyak akal, dan encer otaknya.
Pada peristiwa Perang Shiffin, ia berdiri di pihak Ali
melawan Mu’awiyah. Ketika itu ia merencanakan sendiri tipu muslihat yang
mungkin akan membinasakan Mu’awiyah dan para pengikutnya suatu hari atau suatu
ketika nanti. Hanya saja, ketika ia meneliti ulang muslihat yang telah memeras
kecerdasannya, ia sadar bahwa itu adalah muslihat jahat yang membahayakan. Dia
pun teringat firman Allah:
“ Karena kesombongan
(mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang
jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.
Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang
telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak
akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan
menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu”. (QS:Faathir | Ayat: 43)
ia pun segera membuang jauh-jauh rencananya tersebut dan
meminta ampun kepada Allah. Saat itu juga ia mengatakan, “Demi Allah,
seandainya Mu’awiyah dapat mengalahkan kita nanti, kemenangannya itu bukanlah
karena kepintarannya, melainkan karena kesalehan dan ketakwaan kita.”
Pemuda Anshar yang merupakan bagian dari suku Khazraj ini
berasal dari keluarga pemimpin besar, yang mewariskan sifat-sifat mulia seorang
pemimpin besar kepada pemimpin besar pula. Ia adalah putra Sa’ad bin
Ubadah,seorang pemimpin Khazraj, yang akan kita temui kisah hidupnya di bagian
selanjutnya.
Ketika Sa’ad masuk Islam, ia membawa anaknya Qais dan
menyerahkannya kepada Rasulullah sambil berkata, “Inilah pelayanmu, wahai
Rasulullah.” Rasulullah dapat melihat segala tanda-tanda keutamaan dan
cirri-ciri kebaikan pada diri Qais. Karena itulah, beliau merangkul dan
mendekatkannya ke beliau, yang selanjutnya Qais menjadi seorang yang selalu
dekat di sisi beliau. Anas, shahabat Rasulullah pernah mengatakan, “Kedudukan
Qais bin Sa’ad di sisi Nabi itu seperti kedudukan pengawal di sisi pemimpin.”
Sebelum masuk Islam, Qais memperlakukan orang-orang dengan
segala kecerdikannya, dan mereka tidak berdaya melawan kelicikannya. Tidak ada
seorang pun di kota Madinah dan sekitarnya yang tidak memperhitngkan kelihaian
ini dan mereka sangat waspada. Setelah memeluk Islam, Islam mengajarkan
kepadanya untuk memperlakukan manusia dengan kejujuran, tidak dengan kelicikan.
Dia pun berubah menjadi salah seorang anak muda yang banyak berbakti untuk
Islam dan setelah itu membuang jauh-jauh kelicikannya dan tidak akan mengulangi
kembali tindakan-tindakan liciknya pada masa silam.
Setiap menghadapi suatu kejadian yang sukar dan teringat
kepada praktiknya yang lama, ia pun langsung sadar lalu mengucapkan kata-kata
yang diriwayatkan hingga sampai kepada kita, “Kalau bukan karena Islam, akan
kubuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh bangsa Arab.” Tidak
ada karakter lain pada dirinya yang lebih menonjol daripada kecerdikannya
selain kedermawanan pada dirinya. Dermawan dan pemurah bukanlah merupakan
karakter baru bagi Qais, karena ia berasal dari keluarga yang turun-menurun
terkenal dermawan dan pemurah.
Sebagaimana tradisi orang-orang kaya dan dermawan di
antara suku-suku Arab, keluarga Qais memiliki pelayan yang bertugas di tempat
ketinggian memanggil siapa saja yang hendak bertamu untuk makan bersama mereka
pada siang hari, dan pada malam hari menyalakan api untuk menjadi petunjuk bagi
para musafir yang lewat. Orang-orang pada zaman itu mengatakan, “Siapa yang
ingin memakan lemak dan daging, silakan mampir ke benteng perkampungan Dulaim
bin Haritsah.” Dulaim bin Haritsah adalah kakek kedua Qais. Di rumah
bangsawan inilah Qais mendapat didikan kedermawanan dan kemurahan hati.
Suatu saat Umar dan Abu Bakar memperbincangkan
kedermawanan Qais, mereka berdua mengatakan, “Kalau kita biarkan pemuda ini
dengan kemurahan hatinya, niscaya harta ayahnya akan habis tidak tersisa.”
Sa’ad bin Ubadah pun mendengar perbincangan mereka berdua tentang anaknya. Dia
berkata dengan tegas, “Siapakah yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakar
dan Umar? Mereka mengajarkan kekikiran kepada anakku dengan memperalat namaku.”
Suatu hari Qais memberikan pinjaman dalam jumlah besar
kepada salah seorang rekannya yang sedang dalam kondisi sulit. Pada hari yang
telah ditentukan untuk melunasi utang, orang yang bersangkutan berangkat untuk
membayarnya kepada Qais. Ternyata Qais tidak bersedia menerimanya, dan hanya
berkata, “Kami tidak akan menerima kembali apa pun yang telah kami berikan.”
Secara fitrah, manusia mempunyai jalan yang tidak pernah
berubah, dan kebiasaan yang jarang berganti-ganti. Ketika kemurahan hati
terdapat pada jiwa seseorang, keberanian pun ada padanya. Karena itu, tidak
salah bila kedermawanan sejati dan keberanian sejati adalah dua saudara kembar
yang tidak dapat berpisah satu sama lainnya untuk selama-lamanya.
Bila anda menemukan kedermawanan tanpa keberanian,
ketahuilah bahwa yang anda temui itu bukanlah kedermawanan sejati, melainkan
salah satu wujud dari gejala-gejala kesombongan dan keangkuhan. Pun demikian,
bila keberanian tidak disertai kedermawanan, ketahuilah bahwa itu bukanlah
keberanian sejati, melainkan percikan dari keberanian yang membabi buta dan
kecerobohan.
Ketika Qais bin Sa’ad memegang teguh kemurahan hati dengan
tangan kanannya, ia pun memegang kuat keberanian dan keperwiraan dengan tangan
yang sama. Ia seolah-olah maksud dengan ungkapan syair:
Apabila bendera kemuliaan telah dikibarkan
Segala kekejian berubah menjadi kebaikan.
Keberaniannya telah dikenal di semua medan tempur yang
dilakoninya bersama Rasulullah semasa beliau masih hidup. Dan itu tetap dikenal
pada pertempuran-pertempuran yang diterjuninya sesudah beliau wafat. Keberanian
yang selalu berlandaskan pada kebenaran dan kejujuran sebagai ganti kecurangan
dan kelicikan, dengan cara terbuka dan berhadap-hadapan, bukan dengan
menyebarkan isu dari belakang, tidak pula dengan tipu muslihat buruk, yang
tentu saja membuat pelakunya harus menanggung kesulitan yang menekan.
Sejak Qais membuang jauh kemampuannya yang luar biasa
dalam berdiplomasi secara licik dan bersilat lidah, dan ia beralih ke perangai
seorang pemberani secara terbuka dan terus terang. Ia merasa puas dengan
pembawaan yang baru ini, dan bersedia memikul akibat dan kesukaran yang silih
berganti dengan hati yang rela.
Keberanian sejati itu memancar dari kelegaan hati orang
itu sendiri, bukan karena dorongan hawa nafsu dan keuntungan tertentu,
melainkan karena ketulusan hati dan pengakuan terhadap kebenaran. Hal ini
terbukti ketika terjadi perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, kita melihat
Qais lebih memilih mengucilkan diri dan terus berusaha mencari kebenaran dari
celah-celah kemantapan hatinya tersebut. Akhirnya, ketika ia melihat kebenaran
itu berada di pihak Ali, ia pun segera bangkit dan berdiri di sampingnya dengan
gagah berani, teguh, dan berjuang secara mati-matian.
Di medan Perang Shiffin, Jamal, dan Nahrawan, Qais
merupakan salah seorang pahlawan yang berperang tanpa takut mati. Dialah yang
membawa bendera Anshar dengan meneriakkan:
Bendera inilah bendera persatuan
Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan
Tidak akan gentar andai hanya Anshar pengibarnya
Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya.
Qais telah diangkat oleh Ali sebagai gubernur Mesir. Tetapi,
mata Mu’awiyah selalu mengincar wilayah ini. Ia memandang Mesir sebagai permata
berlian yang paling berharga pada suatu mahkota yang sangat didambakannya. Oleh
karena itu, tidak lama setelah Qais memangku jabatan sebagai amir di wilayah
tersebut, Mu’awiyah merasa khawatir bila nantinya Qais menjadi halangan bagi
cita-citanya terhadap Mesir sepanjang masa, bahkan sekalipun ia meraih
kemenangan nanti atas Ali dengan kemenangan yang menentukan.
Selanjutnya Mu’awiyah berusaha dengan tipu daya dan muslihat—yang
tidak terbatas pada satu bentuk saja—untuk membangkitkan amarah Ali kepada
Qais, sampai akhirnya Ali memanggilnya dari Mesir. Pada kesempatan inilah, Qais
memperoleh kesempatan yang menguntungkan untuk mempergunakan kecerdasannya
menyusun rencana. Dengan kecerdasannya, ia tahu bahwa Mu’awiyah yang memegang
peranan dalam memfitnahnya, setelah ia gagal menarik Qais ke pihaknya untuk
memusuhi Ali dan mempergunakan kepemimpinannya untuk membantunya.
Untuk mematahkan tipu daya tersebut, Qais memperkuat
dukungannya kepada Ali dan terhadap kebenaran yang berada di pihaknya. Ali
merupakan seorang pemimpin yang saat itu menjadi tempat persinggahan kesetiaan
dan kepercayaan teguh dari Qais bin Sa’ad bin Ubadah.
Demikianlah, Qais tidak merasa sedikit pun merasa bahwa
Ali telah memecatnya dari Mesir. Bagi Qais, tidak ada artinya wilayah
kekuasaan, tidak ada artinya pangkat, kepemimpinan, dan jabatan. Semuanya itu
baginya hanyalah sarana guna mengabdikan diri membela keyakinan dan agamanya. Bila
jabatan amir di Mesir itu merupakan suatu jalan untuk mengabdikan diri kepada
kebenaran, sikapnya membela Ali di medan laga adalah suatu jalan lain yang
tidak kurang penting dan mengagumkan.
Keberanian Qais mencapai puncak kejujuran dan kematangannya
setelah Ali syahid dan Al-Hasan dibaiat. Qais memandang Al-Hasan sebagai tokoh
yang cocok menurut syariat untuk menjadi Amirul Mukminin, sehingga Qais pun
berbaiat kepadanya dan berdiri di samping Al-Hasan sebagai pembela, tanpa
memedulikan bahaya yang akan menimpa.
Ketika Mu’awiyah mmaksa mereka untuk menghunus pedang,
Qais bangkit memimpin lima ribu prajurit dengan penampilan kepala yang dicukur
gundul semuanya sebagai tanda berkabung atas wafatnya Ali. Namu, akhirnya Hasan
mengalah dan lebih suka membalut luka kaum Muslimin yang telah sedemikian
parah, dengan memerintahkan agar menghentikan perang yang telah menghabiskan
nyawa dan harta itu, lalu berunding dengan Mu’awiyah dan kemudian berbaiat
kepada Mu’awiyah.
Saat itulah, Qais mulai merenung lagi masalah tersebut.
Menurut pendapatnya, sekalipun pendirian Al-Hasan benar, pasukan Qais tetap
menjadi tanggung jawabnya dan pilihan terakhir terletak atas hasil keputusan
musyawarah. Dia pun mengumpulkan mereka semua, lalu ia berpidato di hadapan
mereka, “Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama
kalian sampai salah satu di antara kita dijemput oleh kematian lebih dahulu.
Tetapi, jika kalian memilih berdamai, aku akan mengambil langkah untuk itu.”
Pasukannya memilih yang kedua, sehingga ia meminta
keamanan dari Mu’awiyah yang memberikannya dengan penuh sukacita, karena ia
melihat angin takdir berhembus untuk membebaskannya dari musuhnya yang terkuat,
paling gigih, serta berbahaya.
Pada tahun 59 H di Al-Madinah Al-Munawwarah, sosok cerdas
yang oleh Islam kelicikannya telah dikendalikan itu pun wafat. Telah wafat
tokoh yang pernah berkata, “Kalau bukan karena aku pernah mendengar
Rasulullah bersabda, ‘Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka.’
Niscaya akulah orang yang paling licik di antara umat ini.” Ia telah tiada
dengan meninggalkan nama harum sebagai seorang lelaki terpercaya dalam segala
tanggung jawab, janji, dan kesetiaan terhadap Islam.
0 komentar:
Posting Komentar