Anak itu ibarat dua sisi
mata uang, satu sisi anak merupakan anugerah dari Allah SWT. Kehadiran mereka
dapat menjadi penyejuk mata (qurota’ayyun) dan pelipur lara. Mereka
ibarat bunga yang indah dalam kehidupan dunia.
Di sisi lain, anak juga
merupakan fitnah, jika tidak hati-hati dan baik dalam mendidik mereka bisa
menyebabkan penyesalan di dunia dan akhirat. Orang tua yang melalaikan
pendidikan anak kelak akan merasakan penyesalan yang terdalam.
Ketika anak
tumbuh dan berkembang dengan semua keburukan yang diterimanya, dan ia akan
menjadi ‘anak nakal’ yang sulit dikendalikan, apalagi sampai berbuat kriminal.
Kelak orang tua pun harus bertanggung jawab atas kenakalan anak dan dianggap
lalai dalam mendidiknya.
Karena itu, setiap orang
tua pasti menghendaki buah hatinya berperilaku baik. Untuk mendukung hal itu,
biasanya para orang tua yang mencintai dan peduli pada buah hatinya pasti
memiliki berbagai referensi buku atau setidaknya pernah membaca buku tentang
cara mendidik anak. Bahkan mereka rela meluangkan waktu untuk mengikuti
berbagai tema seminar tentang cara mendidik anak, agar wawasan dalam mendidik
anak kian luas dan bertambah.
Dengan harapan, orang tua
mempunyai bekalan untuk mengajarkan dan membiasakan kepada buah hatinya
perbuatan baik, sehingga ia terbiasa hidup dengan prinsip-prinsip kebenaran dan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Orang tua pun akan bahagia dengan
perilaku buah hatinya dan bahagia hidup bersamanya.
Namun, tidak dipungkiri
bahwa era digital turut mempengaruhi budaya pergaulan buah hati kita. Terkadang
para orang tua tidak mudah untuk mengaplikasikan berbagai teori tentang cara
mendidik anak yang mereka peroleh melalui buku dan seminar. Secara teori,
mungkin mereka sudah paham bagaimana cara mendidik anak agar kelak anak-anaknya
tumbuh menjadi pribadi yang unggul. Terkadang pula, mereka juga mengalami
berbagai kendala untuk melindungi buah hatinya ketika berhadapan dengan
realitas budaya lingkungan masyarakat yang cenderung destruktif.
Setidaknya, faktor yang
dapat mempengaruhi perilaku buah hati kita di antaranya adalah teman bermain,
teman bermain anak yang usianya lebih tua di lingkungan masyarakat bisa
mempengaruhi perilaku buah hati kita. Dari pergaulan inilah buah hati kita akan
mengetahui bagaimana orang lain berperilaku dan mereka dapat mengetahui
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Ternyata, perilaku
positif yang dicontohkan orang tua di lingkungan keluarga saja tidak cukup,
buah hati kita lebih senang mencontoh perilaku teman bermainnya daripada
mengikuti orang tuanya. Misalnya: ketika anak saya kepergok sedang merokok
dengan teman sebayanya beberapa waktu lalu. Sebagai orang tua saya sangat
terkejut ketika melihat kenyataan bahwa anak lelaki pertama saya yang berusia
lima tahun itu belajar merokok, padahal saya sendiri sebagai ayahnya bukan
perokok aktif. Sebagai orang tua, tentu tidak ingin buah hati kita tumbuh
kembangnya dipengaruhi oleh budaya negatif.
Proteksi atau Imunitas?
Ketika merespon perilaku
buah hati kita dalam realitas lingkungan masyarakat yang dipenuhi budaya
destruktif. Maka peran orang tua benar-benar diuji. Apakah untuk melindungi
buah hatinya dari budaya negatif lebih memilih cara bagaimana membangun
imunitas dalam diri anak ketika bergaul dengan lingkungan. Yaitu membangun
prinsip dan nilai-nilai positif pada diri anak sehingga tidak mudah terpengaruh
budaya negatif dari luar.
Dengan sistem imunitas ini, buah hati kita dapat
membedakan antara perilaku positif atau negatif yang diperankan teman sebayanya
ketika bergaul di lingkungan masyarakat.
Atau kita lebih memilih
menjadi orang tua konvensional yang membekali buah hati kita dengan berbagai
aturan yang mengekang, membatasi pergaulan dan proteksi berlebihan untuk buah
hati kita? Maka sebagai orang tua yang bijak, harus ada cara yang adil dalam
menjembatani buah hati kita ketika bergaul di lingkungan masyarakat yang
majemuk dengan beragam karakter. Sehingga kecerdasan sosial buah hati kita
tidak terganggu dengan seperangkat aturan yang memasung tumbuh kembangnya.
Imam Ghazali
mengungkapkan, “Setiap anak akan menerima semua bentuk kecenderungan yang
disodorkan kepadanya ataupun yang dikatakan kepadanya.”
Karena itu, memang tidak
mudah mengaplikasikan istilah “berinteraksi tanpa terkontaminasi” pada
buah hati kita. Yaitu membekali buah hati kita dengan kemampuan agar tidak
mudah terpengaruh hal negatif dalam pergaulan di lingkungan masyarakat. Atau
mempunyai prinsip yang digunakan sebagai pedoman ketika bergaul di masyarakat.
Karena di saat bergaul di
tengah-tengah masyarakat, buah hati kita akan berhadapan dengan beragam sikap,
watak, budaya dan nilai-nilai sosial yang jauh dari bingkai moral keagamaan.
Bisa jadi keluarga kita tinggal di lingkungan sosial yang rentan dengan budaya
negatif destruktif yang dapat mempengaruhi perilaku dan pemikiran buah hati
kita. Sehingga prinsip nilai-nilai kebenaran/ positif yang kita tanamkan atau
ajarkan pada buah hati kita sedikit demi sedikit akan larut dalam kubangan
budaya negatif destruktif. Dan buah hati kita akhirnya lupa akan nilai positif
yang selama ini kita bangun.
Maka, sebagai orang tua,
kita harus terus konsisten mempertahankan dan mengajarkan prinsip kebenaran
dalam agama (Islam) kepada buah hati kita. Dengan ini, buah hati kita akan
memiliki benteng “pembeda dan pembatas” yang mampu membentengi buah hati kita
dari nilai-nilai destruktif yang ada di masyarakat. Dengan ini, buah hati kita
tidak akan mengikuti keinginan-keinginan teman bergaulnya yang tidak
mencerminkan nilai-nilai Islam dan malah bertentangan dengannya.
Memang, banyak orang yang
terjerumus ke dalam lubang kemakisatan dan tindak kriminal karena pengaruh
teman bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan
hidayah dan banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan teman-teman yang shalih.
Karena itu, Rasulullah SAW menganjurkan agar berteman dengan orang baik
(shalih), yang digambarkan dalam sebuah hadist Bukhari & Muslim, “Permisalan
teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan
seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi,
atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap
mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan
apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau
asapnya yang tak sedap.”
Hadits di atas mengandung
faedah bahwa bergaul dengan teman yang baik akan mendapatkan dua kemungkinan
yang kedua-duanya baik. Kita akan menjadi baik atau minimal kita akan
memperoleh kebaikan dari yang dilakukan teman kita. Namun, jika kita tinggal di
lingkungan masyarakat yang kurang kondusif, maka kita sebagai orang tua harus
terus konsisten mendorong buah hati kita untuk berpegang teguh pada prinsip
nilai-nilai kebenaran yang diajarkan agama.
Ketika dalam diri anak
sudah tumbuh kesadaran dalam memegang prinsip, maka kita sebagai orang tua tak
perlu lagi memproteksi buah hati kita dengan seperangkat aturan yang memasung
kecerdasan sosialnya. Wallahu a’lam.
Penulis : Sucipto, SE
0 komentar:
Posting Komentar