Istiqomah – Michigan. Jilbab oleh masyarakat barat dipandang sebagai simbol kolot atau
konservatif. Namun, Komunitas Muslim Michigan punya pandangan lain.
Pakar ilmu politik yang
juga mantan blogger khusus fesyen jilbab, Imaan Ali, menilai mengenakan jilbab
bukan persoalan konservatif atau tidak. Tapi bagaimana seorang perempuan
mengedepankan nilai-nilai kesopanan dan pembawaan diri.
Pakar Timur Tengah Mohammad
Alhawry berpendapat dalam Alquran dijelaskan Jilbab merupakan cara yang
memungkinkan individu, utamanya perempuan, untuk berpartisipasi aktif dalam
masyarakat serta mempertahankan pemisahan ruang publik dan pribadi.
“Anda lihat sekarang di
jaringan sosial seperti Facebook dan tempat-tempat lain seolah tidak ada
pemisahan,” katanya. Situasi itu memunculkan masalah dengan diri sendiri,
sahabat, dan rekan kerja karena ketidaktaatan terhadap pemisahan kehidupan
pribadi dan publik.
Selama ribuan tahun,
jilbab telah dikreasikan dalam bentuk pakaian yang disesuaikan dengan tren
tanpa perlu melanggar aturan yang ditetapkan Alquran. Ali misalnya, ia
menggunakan jilbab semenjak usia 20 tahun. Diusianya yang terbilang muda, ia
tergolong penggila fesyen.
Dengan pengetahuan yang
luas soal fesyen, Ali tak mau ketinggalan tren tanpa harus menanggalkan
keyakinannya untuk mengenakan jilbab. “Anda dapat memodifikasi beragam jilbab
dan membuat tren atas apa yang anda kenakan. Gunakan imajinasi anda,”
ungkapnya.
Ali mengatakan gaya
berjilbab sangat bervariasi di semua negara Muslim. Umumnya, perempuan di
negara-negara Teluk (Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, Bahrain, Qatar dan
Kuwait) gemar mengenakan gaun hitam panjang dan serba tertutup. Sementara
perempuan di Mesir dan Levant (termasuk sebagian wilayah Lebanon , Suriah,
Yordania, Israel dan Wilayah Palestina) memakai jilbab yang lebih berwarna dan
mengekspos wajah mereka.
“Anda dengan mudah
menebak asal negara berdasarkan jilbab,” kata Ali,
Alhawary melihat Turki
merupakan negara dengan pengaruh yang besar terhadap tren jilbab. Ia menilai
sekularisasi Turki mengakibatkan perempuan negara itu mempertahankan jilbab
dengan kreatifitas.
“Selama tujuh tahun
pertama saya memakai jilbab. Ada semacam kurang nyambung antara pakaian dengan
jilbabku,” ungkap Presiden Asosiasi Mahasiswa Islam Eman Abdelhadi.
Abdelhadi telah
mengenakan jilbab sejak berusia sembilan tahun. Ia pengemat jilbab sutra
berwarna-warni. “Saya cenderung memakai warna-warna yang lebih solid,” katanya.
Berkat kreasinya itu,
Abdelhadi menjadi perhatian. Tapi ia tidak terganggu dengan hal itu. “Ada
perasaan yang berbeda dan seolah diawasi,” katanya.
Belum Diterima
Baik Ali dan Alhawary
sempat mengalami pengalaman buruk. Sewaktu di Norwegia, Ali mengalami kesulitan
menemukan pekerjaan di rumah lantaran ia mengenakan jilbab.
Alhawary berpendapat
penting untuk memisahkan dasar keagamaan jilbab dari konteks budayanya dan
praktik agama. “Ini yang perlu dipahami negara-negara barat,” katanya.
Meskipun jilbab
berpotensi untuk menjadi disalahartikan, Ali dan Abdelhadi bangga untuk
mengenakan jilbab dengan istilah dan keyakinan secara yang positif.”Saya
benar-benar menganggap diri saya seorang feminis Muslim di jalan, karena saya
percaya pada kekuatan perempuan,” kata Ali. (Johar Arif/Agung Sasongko/RoL)
0 komentar:
Posting Komentar