“Allah
berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum
perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala
nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari
bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah
Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”.(Hadist Qudsi )
Ridho itu artinya
rela, mencari Ridho Allah artinya mencari apa yang membuat Allah rela
pada kita. Maka seorang yang memiliki prinsip hidup mencari ridho Allah adalah
mereka yang menuhankan Allah sekaligus memiliki prinsip Lailahaillallah. Dan
siapa yang memiliki filosofi Lailahaillallah dan mengucapkan dengan ikhlas (
mengerti dari dalam hati ) Maka pasti ia akan masuk Syurga dan siapa diakhir
kalamnya mengucapkan kalimat Lailahaillallah pasti masuk syurga ( Sabda Nabi
Muhammad ).
Tapi yang dimaksud
mencari Ridho Allah itu tidak hanya sholat dan ibadah dengan tekun dimasjid.
Tidak hanya berzikir atau mengaji, namun memiliki makna yang sangat luas. Ini
menyangkut filosofi hidup , menyangkut ideologi .
Konskwensinya sangat
luas, seorang yang mencari Ridho Allah maka ia akan mengikuti apa yang
diinginkan Allah, Ia akan banyak berbuat baik, berhati lembut, tidak suka
menyakiti perasaan saudara , menjaga keamanan sosial, banyak berkorban untuk
manusia dan titik akhirnya adalah memanifestasikan kehendak Allah. Sikap-sikap
baik yang membiaskan rahmat bagi semesta alam inilah yang menjadi ukurannya.
Kata ridha berasal
dari bahasa Arab yang makna harfiahnya mengandung pengertian senang, suka,
rela, menerima dengan sepenuh hati, serta menyetujui secara penuh , sedang
lawan katanya adalah benci atau tidak senang. Kata ridha ini lazim dihubungkan
dengan eksistensi Tuhan dan manusia, seperti Allah ridha kepada orang-orang
yang beriman dan beramal shaleh, sedangkan dengan manusia seperti seorang ibu
ridha anaknya merantau untuk menuntut ilmu , ridha erat kaitannya dengan sikap
dan pemahaman manusia atas karunia dan nikmat Allah.
Dalam dunia tasawuf,
kata ridha memiliki arti tersendiri yang masih berhubungan dengan sikap
kepasrahan seseorang di hadapan kekasih-Nya. Sikap ini merupakan wujud dari
rasa cinta pada Allah dengan menerima apa saja yang telah dikehendaki oleh-Nya
tanpa ada paksaan dalam menjalaninya. Dengan kata lain, ridha lebih memfokuskan
perhatian yang ditujukan kepada upaya mengembangkan emosi ridha dalam hati
calon sufi kepada Tuhan.
Maka janganlah kita
berharap memperoleh ridha Tuhan, bila dalam hati kita sendiri tidak tumbuh dengan
subur emosi ridha kepada-Nya. Di sini ditanamkan kesadaran bahwa ada tidaknya,
atau besar kecilnya ridha Tuhan pada seseorang tergantung pada ada tidaknya
atau besar kecilnya ridha hatinya kepada Tuhan.
Ridha secara bahasa
menerima dengan suka hati, secara istilah diartikan sikap menerima atas
pemberian dan anugerah yang diberikan oleh Allah dengan di iringi sikap
menerima ketentuan syariat Islam secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta
menjauhi dari perbuatan buruk(maksiyat), baik lahir ataupun bathin.
Berbicara masalah
ridho erat kaitannya dengan sikap dan pemahaman manusia atas karunia dan nikmat
Allah. Ridho berasal dari bahasa Arab mengandung pengertian senang, suka, rela,
menerima dengan sepenuh hati, serta menyetujui secara penuh, sedangkan lawan
katanya adalah benci atau tidak senang.
Kata ridha ini lazim
dihubungkan dengan eksistensi Tuhan dan manusia, seperti Allah ridha kepada
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sedangkan dengan manusia seperti
seorang ibu ridha anaknya merantau untuk menuntut ilmu.
Ridha kepada Tuhan,
menurut para sufi; mengandung makna yang luas, diantaranya: Tidak menentang
pada qadha dan qadar Tuhan, menerimanya dengan senang hati, mengeluarkan
perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan
senang dan gembira, merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang
menerima nikmat, tidak meminta surga dari Tuhan dan tidak meminta supaya
dijauhkan dari neraka, tidak berusaha sebelum turunnya qadha dan qadar, tidak
merasa pahit dan sakit sesudah turunnya, bahkan perasaan senang bergelora di
waktu cobaan atau musibah datang.
Pada abad ke 9 (3 H)
telah muncul perbincangan di kalangan sufi, apakah ridha pada Allah itu
termasuk hal atau maqam. Kendati segolongan sufi cenderung memandangnya sebagai
hal dan yang lain memandangnya sebagai maqam, rumusan kompromi bisa saja
diambil: ia disebut hal pada seseorang, bila ia ridha itu masih bersifat datang
dan pergi, belum mantap dalam hatinya; dan disebut maqam, bila ridha itu,
karena olah rasa, menjadi mantap dan terus menerus menetap dan menguasai
hatinya.
Dapat dipahami bahwa
orang yang berhati ridho pada Allah itulah orang yang paling berbahagia di
dunia, yang tentu berlanjut di akhirat. Ridha itu merupakan hal atau maqam yang
amat tinggi dalam pandangan kaum sufi
Orang yang berhati
ridha pada Allah memiliki sikap optimis, lapang dada, kosong hatinya dari
dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang baik,
sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan,
ketentuan, dan perbulatan Tuhan.
Berbeda dengan orang-orang
yang selalu membuat kerusakan di muka bumi ini, mereka selalu ridha apabila
melakukan perbuatan yang Allah haramkan, dalam hatinya selalu merasa kurang
apabila meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini mereka perbuat, bermakna
merasa puas hati apabila aktivitas hidupnya bisa membuat risau, khawatir, dan
selalu mengganggu terhadap sesamanya.
Semuanya itu ia
lakukan karena mengikut hawa nafsu yang tanpa ia sadari bahwa sebenarnya
syaitan telah menjerat dirinya dalam kubangan dosa. Keutamaan Ridha Kepada
Allah, Islam dan RasulNya Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu
‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Akan
merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai
Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”
Hadits yang agung
ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan
agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya keimanan
seseorang.
Imam an-Nawawi –
semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau
berkata:
“Orang yang tidak
menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama
Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan
syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan
iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan
kelezatan iman tersebut (secara nyata)”.
Beberapa faidah
penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Arti “ridha kepada
sesuatu” adalah merasa cukup dan puas dengannya, serta tidak menginginkan
selainnya”.
- Arti “merasakan
kelezatan/kemanisan iman” adalah merasakan kenikmatan ketika mengerjakan ibadah
dan
ketaatan kepada
Allah Ta’ala, bersabar dalam menghadapi kesulitan dalam (mencari) ridha Allah
Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengutamakan semua itu
di atas balasan duniawi, disertai dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan melakukan (segala) perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
- Makna “ridha
kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan
larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan
dan dicegah-Nya. Inilah syarat untuk mencapai tingkatan ridha kepada-Nya sebagai
Rabb secara utuh dan sepenuhnya.
- Makna “ridha
kepada Islam sebagai agama” adalah merasa cukup dengan mengamalkan syariat
Islam dan tidak akan berpaling kapada selain Islam. Demikian pula “ridha kepada
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul” artinya hanya
mencukupkan diri dengan mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, serta
tidak menginginkan selain petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
0 komentar:
Posting Komentar