Diberdayakan oleh Blogger.

Seni Mendampingi dan Bernegosiasi dengan Anak

Istiqomah - Pembaca setia…! Seringkali terucap sebuah statement yang menyatakan bahwa orangtua itu jangan sampai kalah oleh anak. Atau kalimat lain yang bernada sama misalnya : “Ada bos, ada bawahan. Maka yang berstatus bos tentu saja orangtua. Jadi, jangan sampai kita kalah oleh anak.” Benarkah demikian? Lalu, setujukah Anda?

Ayah dan Bunda…! Pada dasarnya memang benar bahwa siapapun orangtua, seharusnya jangan sampai kalah oleh sesosok makhluk unik bernama ANAK. Namun sayang seribu kali sayang. Paradigma salah kaprah yang terlanjur menjadi fakta adalah bahwa orangtua merasa bangga ketika dirinya berhasil mengekang keinginan anak, atau merasa berhasil ketika amukan anak tiba-tiba mereda setelah disembur dengan makian dan ancaman, atau merasa menang ketika anak berhenti merajuk setelah ditakuti, atau merasa lega ketika anak berhenti berulah setelah dipelototi dan diacungi telunjuk.

Tentu saja, konteks yang demikian sangatlah tidak fair dan tidak berpihak pada kepuasan anak. Dan kalaulah diasumsikan sebagai sebuah permainan, maka konteks yang demikian adalah permainan yang tidak sehat. Mengapa demikian? Karena dibalik kemenangan yang kita akui, pada saat itu jiwanya melunglai, optimisnya meranggas bagai ranting kering, kepercayaan dirinya beterbangan, dan harga dirinya menggelepar.

Dan parahnya, kita sebagai orangtua hampir tidak memperhatikan hal itu, dan hampir tidak pernah merasa menzhalimi. Padahal semestinya, kemenangan kita tidak bisa ditentukan dengan belalakan mata, tidak bisa diukur dengan acungan telunjuk, tidak bisa ditakar dengan ancaman dan tidak pula bisa ditentukan oleh amarah, melainkan oleh wibawa dan komunikasi dari hati ke hati.

Anak itu butuh alasan dan penjelasan. Intinya, anak butuh keterangan-keterangan yang membuat dirinya paham dan dapat diterima oleh logika berpikirnya. Lalu bagaimana, jika suatu saat anak menunjukkan perilaku yang membuat kita kesal seperti:

  1.  Menginginkan barang tertentu dan hampir tidak mau diganti dengan barang yang lain. 
  2. Memainkan benda-benda penting yang pada saat itu kita butuh sekali untuk menggunakanannya. Sementara anak kekeuh tidak bersedia menyerahkan.
  3. Tidak mau berhenti bermain air di kamar mandi, sementara Anda dikejar-kejar waktu harus berangkat dengan segera.
  4. Memegang atau meraih atau memainkan benda berbahaya
  5. Tidak mau memberi
  6. Tidak mau mandi
  7. Tidak mau bangun
  8.  dll

Nah, jika Anda akhirnya dipertemukan dengan beberapa fragmen demikian, langkah pertama yang wajib Anda biasakan adalah HINDARI BERSIKAP REAKTIF. Sikap reaktif Anda berpotensi menurunkan wibawa dan kekuatan Anda. Sebaliknya, sikap tenang Anda adalah modal utama bagi Anda untuk berpikir lebih sehat dan cenderung melahirkan solusi. Bahkan ketika anak menyebutkan sekian macam hal yang diinginkannya secara berturut-turut dalam satu waktu, maka cukuplah menjawabnya dengan kata BOLEH. Contoh;

Anak       : Mama, aku mau ice cream…!
Orangtua : Boleh
Anak       : Mama, aku mau beli mobil-mobilan…!
Orangtua : Boleh
Anak       : Tapi beli mobil-mobilannya harus sekarang
Orangtua : Boleh
Anak       : Beli mobil-mobilanyaaaa, harus sekaraaaaaaang.
Orangtua : Boleh
Anak       : Mamaaaaaaa…! Sekaraaaaaang…!

Barulah setelah si anak mulai bosan dan marahnya mereda, Anda jelaskan dengan bijak bahwa benda yang dimaksud tidak mesti didapat pada saat ini juga. Lalu tegaskan bahwa Anda tidak berbohong dan yakinkan bahwa besok atau lusa, Anda benar-benar akan membelikan.

Selanjutnya, jika anak memainkan benda-benda penting yang pada saat itu pula benar-benar Anda perlukan seperti handphone, buku, laptop, kunci motor, kunci mobil dan lain sebagainya, sementara anak bersikeras tidak mau menyerahkan benda tersebut, maka secepatnya Anda mencari benda pengganti yang memungkinkan anak teralihkan perhatiannya. Jangan lupa pula untuk menegaskan dengan kata-kata bahwa benda yang Anda sodorkan betul-betul menarik dan membuatnya penasaran. Intinya, lakakanlah sebuah usaha yang disebut dengan “gombalisasi”.

Konteks berikutnya adalah ketika anak enggan melakukan sesuatu seperti minum obat, mandi, dan lain-lain. Untuk yang satu ini, mohon Anda menahan diri untuk tidak menyampaikan akibat-akibat buruk. Cukup merayu dengan hal-hal yang menggairahkan dan memberi kesan positif. Contoh :

  • Yuk, kita minum obat asyik yuk…! Kalau kakak mau minum obat, Kakak jadi sembuh, jadi tambah cantik, jadi tambah hebat, jadi bisa jalan-jalan lagi.
  • Mandi dulu yuk…! Robot sama mobilnya kita ajak mandi juga ya…!
  • Baju sama celana bagusnya kita coba dulu yu…! Nanti Kakak tambah cakep, tambah ganteng, tambah hebat.
  • Sekarang coba Anda bandingkan dengan kalimat yang berbau ancaman.
  • Kakak, kalau kakak nggak mau minum obat, nanti sakitnya tambah parah. Nanti kakak nggak bisa apa-apa. Nanti kakak bisa lumpuh.
  • Pokoknya Adik harus mandi dulu. Adik ga bisa ikut Mama kalau ga mau mandi.
  • Mau pakai baju nggak? Ya udah, Mama tinggalin aja kalau maunya Kakak begitu.


Ayah bunda…. Banyak diksi (pilihan kata) yang bisa Anda gunakan untuk bernegosiasi dengan anak. Banyak cara juga untuk sekadar menunda keinginan mereka. Namun yang paling penting bagi kita adalah latihan dan pembiasaan.

Dan satu hal lagi yang perlu kita garisbawahi adalah bahwa memenuhi semua permintaan anak tanpa kecuali, adalah sebuah upaya yang secara tidak langsung mengantarkan mereka menjadi manusia yang tak berdaya. Semoga bermanfaat. Allohu’alam bish showaab.


tpq alistiqomah kabil

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Seni Mendampingi dan Bernegosiasi dengan Anak yang dipublikasi Istiqomah Sampaikan, berita, artikel conten ini untuk kemanfaat ummat.

0 komentar:

Posting Komentar

Back to top