.
Diberdayakan oleh Blogger.

Salman Al-Farisi Mencari Kebenaran

Kisah Salman diceritakan langsung kepada seorang sahabat dan keluarga dekat Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abbas:

Salman dilahirkan dengan nama Persia, Rouzbeh, di kota Kazerun, Fars, Iran. Ayahnya adalah seorang Dihqan (kepala) desa. Dia adalah orang terkaya di sana dan memiliki rumah terbesar.

Ayahnya menyayangi dia, melebihi siapa pun. Seiring waktu berlalu, cintanya kepada Salman
semakin kuat dan membuatnya semakin takut kehilangan Salman. Ayahnya pun menjaga dia di rumah, seperti penjara. 

Ayah Salman memiliki sebuah kebun yang luas, yang menghasilkan pasokan hasil panen berlimpah. Suatu ketika ayahnya meminta dia mengerjakan sejumlah tugas di tanahnya. 

Tugas dari ayahnya itulah yang menjadi awal pencarian kebenaran. "Ayahku memiliki areal tanah subur yang luas. Suatu hari, ketika dia sibuk dengan pekerjaannya, dia menyuruhku untuk pergi
ke tanah itu dan memenuhi beberapa tugas yang dia inginkan. 

Dalam perjalanan ke tanah tersebut, saya melewati gereja Nasrani. Saya mendengarkan suara orang-orang shalat di dalamnya.

Saya tidak mengetahui bagaimana orang-orang di luar hidup, karena ayahku membatasiku di dalam rumahnya! Maka ketika saya melewati orang-orang itu (di gereja) dan mendengarkan suara mereka, saya masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan."

"Ketika saya melihat mereka, saya menyukai salat mereka dan menjadi tertarik terhadapnya
(yakni agama). Saya berkata (kepada diriku), 'Sungguh, agama ini lebih baik daripada agama kami'".

Salman memiliki pemikiran yang terbuka, bebas dari taklid buta. "Saya tidak meninggalkan mereka sampai matahari terbenam. Saya tidak pergi ke tanah ayahku."

Dan ketika pulang, ayahnya bertanya. Salman pun menceritakan bertemu dengan orang-orang Nasrani dan mengaku tertarik. Ayahnya terkejut dan berkata: "Anakku, tidak ada kebaikan dalam agama itu. Agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik." "Tidak, agama itu lebih baik dari milik kita," tegas Salman.

Ayah Salman pun bersedih dan takut Salman akan meninggalkan agamanya. Jadi dia mengunci Salman di rumah dan merantai kakinya. Salman tak kehabisan akan dan mengirimkan sebuah pesan kepada penganut Nasrani, meminta mereka mengabarkan jika ada kafilah pedagang yang pergi ke Suriah. Setelah informasi didapat, Salman pun membuka rantai dan kabur untuk bergabung dengan rombongan kafilah. 

Ketika tiba di Suriah, dia meminta dikenalkan dengan seorang pendeta di gereja. Dia berkata: "Saya ingin menjadi seorang Nasrani dan memberikan diri saya untuk melayani, belajar dari anda, dan salat dengan anda." Sang pendeta menyetujui dan Salman pun masuk ke dalam gereja. Namun tak lama kemudian, Salman menemukan kenyataan bahwa sang pendeta adalah seorang yang korup.

Dia memerintahkan para jemaah untuk bersedekah, namun ternyata hasil sedekah itu ditimbunnya untuk memperkaya diri sendiri. Ketika pendeta itu meninggal dunia dan umat Nasrani berkumpul untuk menguburkannya, Salman mengatakan bahwa pendeta itu korup dan menunjukkan bukti-bukti timbunan emas dan perak pada tujuh guci yang dikumpulkan dari sedekah para jemaah.

Setelah pendeta itu wafat, Salman pun pergi untuk mencari orang saleh lainnya, di Mosul, Nisibis, dan tempat lainnya. Pendeta yang terakhir berkata kepadanya bahwa telah datang seorang nabi di tanah Arab, yang memiliki kejujuran, yang tidak memakan sedekah untuk dirinya sendiri. Salman pun pergi ke Arab mengikuti para pedagang dari Bani Kalb, dengan  memberikan uang yang dimilikinya. 

Para pedagang itu setuju untuk membawa Salman. Namun ketika mereka tiba di Wadi al-Qura (tempat antara Suriah dan Madinah), para pedagang itu mengingkari janji dan menjadikan Salman seorang seorang budak, lalu menjual dia kepada seorang Yahudi.

Singkat cerita, akhirnya Salman dapat sampai ke Yatsrib (Madinah) dan bertemu dengan rombongan
yang baru hijrah dari Makkah. Salman dibebaskan dengan uang tebusan yang dikumpulkan oleh Rasulullah SAW dan selanjutnya mendapat bimbingan langsung dari beliau. Betapa gembira hatinya, kenyataan yang diterimanya jauh melebihi apa yang dicita-citakannya, dari sekadar ingin bertemu dan berguru menjadi anugerah pengakuan sebagai muslimin di tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang disatukan sebagai saudara.



Kisah kepahlawanan Salman yang terkenal adalah karena idenya membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam Perang Khandaq. Ketika itu Madinah akan diserang pasukan Quraisy yang mendapat dukungan dari suku-suku Arab lainnya yang berjumlah 10.000 personel. Pemimpin pasukan itu adalah Abu Sufyan. Ancaman juga datang dari dalam Madinah, di mana penganut Yahudi dari Bani Quradhzah akan mengacau dari dalam kota.

Rasulullah SAW pun meminta masukan dari sahabat-sahabatnya bagaimana strategi menghadapi mereka. Setelah bermusyawarah akhirnya saran Salman Al Farisi atau yang biasa dipanggil
Abu Abdillah diterima. Strategi Salman memang belum pernah dikenal oleh bangsa Arab pada waktu itu. Namun atas ketajaman pertimbangan Rasulullah SAW, saran tersebut diterima. Atas saran Salman itulah perang dengan jumlah pasukan yang tak seimbang dimenangkan kaum Muslimin. 

Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, Salman dikirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya, hingga dia wafat. 

Hafshah Binti Umar

Hafshah binti Umar  adalah salah seorang istri Muhamad. Beliau seorang janda dari seorang pria bernama Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal dunia saat Perang Badar.
Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khathab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zaynab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un.
Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebelum Nabi diutus menjadi Rasul.”
Sayyidah Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.
Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika melihat darah mengucur dari dahi adiknya, kemudian diambilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi . yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.
Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.
 Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keimanan dan ketakwaan.
Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.
Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah . berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.
Peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.
Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah . bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.
Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.

Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zum’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.
Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalah pahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah suatu ketika Rasulullah mampir di rumah Hafshah, dan berhenti di situ lebih lama dari biasanya, lantas aisyah bertanya mengenai apa yang terjadi : dikatakan kepada ku, ternyata seorang wanita dari kaumnya telah memberikan semangkuk madu, lalu dia (Hafshah) menuangkan seteguk kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Aisyah pun berkata; Demi Allah, saya akan menggodanya. Kemudian aisyah memberi tahu Saudah, aisyah berkata; Jika beliau masuk menemuimu, sebab sebentar lagi beliau akan mampir (di rumahmu), maka katakanlah kepadanya; 
Wahai Rasulullah, apakah anda habis makan buah maghafir? Pasti beliau nanti akan bilang tidak. Lalu katakan lagi kepadanya; Lalu bau apakah ini? Biasanya beliau sangat tidak suka jika mendapati bau, nanti beliau akan mengatakan kepadamu; Hafshah telah menuangkan untukku seteguk madu, lalu katakanlah kepada beliau; Lebahnya makan buah 'urfuth (sejenis pohon dengan buah yang berbau tidak sedap). Maka saya akan mengatakan seperti itu kepada beliau, dan kamu juga wahai Shafiyah. Ketika beliau masuk ke rumah Suadah, Saudah berkata; Demi Dzat yang tidak ada ilah yang berhak disembah selain Dia, hampir saja saya mengungkapkan apa yang kamu (Aisyah) katakan kepadaku karena saya takut kepadamu, ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam baru sampai di depan pintu, tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendekat, dia mengatakan; Wahai Rasulullah, apakah anda habis makan buah Maghair? Beliau menjawab: "Tidak." Dia melanjutkan; Lantas, bau apakah ini? 
Beliau menjawab: "Hafshah telah menuangkan untukku seteguk madu." Dia melajutkan; Lebahnya makan urfuth. Tatkala beliau menemui aisyah, aisyah pun mengatakan seperti itu, kemudian beliau masuk ke rumah Shafiyah, maka Shafiyah pun mengatakan dengan hal yang sama. Tatkala beliau masuk ke rumah Hafshah, dia berkata; Wahai Rasulullah, apakah saya perlu menuangkan madu lagi? Beliau menjawab: "Tidak, saya tidak membutuhkan lagi." Kemudian Saudah berkata; Subhanallah, demi Allah, sungguh kita telah mengharamkannya. Aisyah berkata kepadanya; Diamlah kamu!
Maka turunlah ayat: "Mengapa kamu mengharamkan apa yang d halalkan Allah untukmu-sampai Firman-Nya- jika kamu berdua bertaubat -yaitu Aisyah dan Hafshah- dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya suatu peristiwa." (At Tahrim: 1-3).
Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah . senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah . pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. 
Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab :28)
Rasulullah . menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah . telah menceraikan istri-jstri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khaththab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, 
Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.
Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka kepada kaum muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan salat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.
Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.
Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.
Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istrii Nabi. yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.

Qais bin Saad

Istiqomah-Orang-orang Anshar memandang Qais seperti seorang pemimpin, walaupun usianya masih muda. Mereka mengatakan, “Seandainya kami dapat membelikan janggut untuk Qais dengan harta kami, niscaya akan kami lakukan.” Hal itu karena wajahnya memang licin tanpa janggut. Sebenarnya tidak ada suatu pun kekurangan dari sifat-sifat kepemimpinannya yang lazim terdapat pada adat kebiasaan kaumnya, selain soal janggut, yang oleh para pria dijadikan sebagai tanda kejantanan pada wajah-wajah mereka.

 Siapakah sejatinya pemuda yang sangat dicintai kaumnya ini, hingga mereka siap mengorbankan harta untuk membelikan janggut yang akan menghiasi wajahnya, sebagai penyempurnaan bentuk luarnya bagi kebesaran hakiki dan kepemimpinan yang tinggi yang sudah ada pada dirinya?

 Itulah dia Qais bin Sa’ad bin Ubadah. Ia berasal dari keluarga Arab paling dermawan dari turunannya yang mulia. Tentang keluarganya, Rasulullah pernah bersabda, “Kedermawanan menjadi karakter keluarga ini!

 Ia adalah seorang yang cerdik dan pintar menunjukkan tipu muslihat, kepiawaian, dan kecerdikannya. Ia pernah mengatakan secara jujur tentang dirinya, “Kalau bukan karena Islam, saya sanggup membuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab mana pun!” karena, ia adalah seorang yang sangat cerdas, banyak akal, dan encer otaknya.

 Pada peristiwa Perang Shiffin, ia berdiri di pihak Ali melawan Mu’awiyah. Ketika itu ia merencanakan sendiri tipu muslihat yang mungkin akan membinasakan Mu’awiyah dan para pengikutnya suatu hari atau suatu ketika nanti. Hanya saja, ketika ia meneliti ulang muslihat yang telah memeras kecerdasannya, ia sadar bahwa itu adalah muslihat jahat yang membahayakan. Dia pun teringat firman Allah:

“ Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu”. (QS:Faathir | Ayat: 43)

 ia pun segera membuang jauh-jauh rencananya tersebut dan meminta ampun kepada Allah. Saat itu juga ia mengatakan, “Demi Allah, seandainya Mu’awiyah dapat mengalahkan kita nanti, kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, melainkan karena kesalehan dan ketakwaan kita.

 Pemuda Anshar yang merupakan bagian dari suku Khazraj ini berasal dari keluarga pemimpin besar, yang mewariskan sifat-sifat mulia seorang pemimpin besar kepada pemimpin besar pula. Ia adalah putra Sa’ad bin Ubadah,seorang pemimpin Khazraj, yang akan kita temui kisah hidupnya di bagian selanjutnya.

 Ketika Sa’ad masuk Islam, ia membawa anaknya Qais dan menyerahkannya kepada Rasulullah sambil berkata, “Inilah pelayanmu, wahai Rasulullah.” Rasulullah dapat melihat segala tanda-tanda keutamaan dan cirri-ciri kebaikan pada diri Qais. Karena itulah, beliau merangkul dan mendekatkannya ke beliau, yang selanjutnya Qais menjadi seorang yang selalu dekat di sisi beliau. Anas, shahabat Rasulullah pernah mengatakan, “Kedudukan Qais bin Sa’ad di sisi Nabi itu seperti kedudukan pengawal di sisi pemimpin.

 Sebelum masuk Islam, Qais memperlakukan orang-orang dengan segala kecerdikannya, dan mereka tidak berdaya melawan kelicikannya. Tidak ada seorang pun di kota Madinah dan sekitarnya yang tidak memperhitngkan kelihaian ini dan mereka sangat waspada. Setelah memeluk Islam, Islam mengajarkan kepadanya untuk memperlakukan manusia dengan kejujuran, tidak dengan kelicikan. Dia pun berubah menjadi salah seorang anak muda yang banyak berbakti untuk Islam dan setelah itu membuang jauh-jauh kelicikannya dan tidak akan mengulangi kembali tindakan-tindakan liciknya pada masa silam.

 Setiap menghadapi suatu kejadian yang sukar dan teringat kepada praktiknya yang lama, ia pun langsung sadar lalu mengucapkan kata-kata yang diriwayatkan hingga sampai kepada kita, “Kalau bukan karena Islam, akan kubuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh bangsa Arab.” Tidak ada karakter lain pada dirinya yang lebih menonjol daripada kecerdikannya selain kedermawanan pada dirinya. Dermawan dan pemurah bukanlah merupakan karakter baru bagi Qais, karena ia berasal dari keluarga yang turun-menurun terkenal dermawan dan pemurah.

 Sebagaimana tradisi orang-orang kaya dan dermawan di antara suku-suku Arab, keluarga Qais memiliki pelayan yang bertugas di tempat ketinggian memanggil siapa saja yang hendak bertamu untuk makan bersama mereka pada siang hari, dan pada malam hari menyalakan api untuk menjadi petunjuk bagi para musafir yang lewat. Orang-orang pada zaman itu mengatakan, “Siapa yang ingin memakan lemak dan daging, silakan mampir ke benteng perkampungan Dulaim bin Haritsah.” Dulaim bin Haritsah adalah kakek kedua Qais. Di rumah bangsawan inilah Qais mendapat didikan kedermawanan dan kemurahan hati.

 Suatu saat Umar dan Abu Bakar memperbincangkan kedermawanan Qais, mereka berdua mengatakan, “Kalau kita biarkan pemuda ini dengan kemurahan hatinya, niscaya harta ayahnya akan habis tidak tersisa.” Sa’ad bin Ubadah pun mendengar perbincangan mereka berdua tentang anaknya. Dia berkata dengan tegas, “Siapakah yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar? Mereka mengajarkan kekikiran kepada anakku dengan memperalat namaku.

 Suatu hari Qais memberikan pinjaman dalam jumlah besar kepada salah seorang rekannya yang sedang dalam kondisi sulit. Pada hari yang telah ditentukan untuk melunasi utang, orang yang bersangkutan berangkat untuk membayarnya kepada Qais. Ternyata Qais tidak bersedia menerimanya, dan hanya berkata, “Kami tidak akan menerima kembali apa pun yang telah kami berikan.

 Secara fitrah, manusia mempunyai jalan yang tidak pernah berubah, dan kebiasaan yang jarang berganti-ganti. Ketika kemurahan hati terdapat pada jiwa seseorang, keberanian pun ada padanya. Karena itu, tidak salah bila kedermawanan sejati dan keberanian sejati adalah dua saudara kembar yang tidak dapat berpisah satu sama lainnya untuk selama-lamanya.

 Bila anda menemukan kedermawanan tanpa keberanian, ketahuilah bahwa yang anda temui itu bukanlah kedermawanan sejati, melainkan salah satu wujud dari gejala-gejala kesombongan dan keangkuhan. Pun demikian, bila keberanian tidak disertai kedermawanan, ketahuilah bahwa itu bukanlah keberanian sejati, melainkan percikan dari keberanian yang membabi buta dan kecerobohan.

 Ketika Qais bin Sa’ad memegang teguh kemurahan hati dengan tangan kanannya, ia pun memegang kuat keberanian dan keperwiraan dengan tangan yang sama. Ia seolah-olah maksud dengan ungkapan syair:

 Apabila bendera kemuliaan telah dikibarkan

 Segala kekejian berubah menjadi kebaikan.

 Keberaniannya telah dikenal di semua medan tempur yang dilakoninya bersama Rasulullah semasa beliau masih hidup. Dan itu tetap dikenal pada pertempuran-pertempuran yang diterjuninya sesudah beliau wafat. Keberanian yang selalu berlandaskan pada kebenaran dan kejujuran sebagai ganti kecurangan dan kelicikan, dengan cara terbuka dan berhadap-hadapan, bukan dengan menyebarkan isu dari belakang, tidak pula dengan tipu muslihat buruk, yang tentu saja membuat pelakunya harus menanggung kesulitan yang menekan.

 Sejak Qais membuang jauh kemampuannya yang luar biasa dalam berdiplomasi secara licik dan bersilat lidah, dan ia beralih ke perangai seorang pemberani secara terbuka dan terus terang. Ia merasa puas dengan pembawaan yang baru ini, dan bersedia memikul akibat dan kesukaran yang silih berganti dengan hati yang rela.

 Keberanian sejati itu memancar dari kelegaan hati orang itu sendiri, bukan karena dorongan hawa nafsu dan keuntungan tertentu, melainkan karena ketulusan hati dan pengakuan terhadap kebenaran. Hal ini terbukti ketika terjadi perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, kita melihat Qais lebih memilih mengucilkan diri dan terus berusaha mencari kebenaran dari celah-celah kemantapan hatinya tersebut. Akhirnya, ketika ia melihat kebenaran itu berada di pihak Ali, ia pun segera bangkit dan berdiri di sampingnya dengan gagah berani, teguh, dan berjuang secara mati-matian.

 Di medan Perang Shiffin, Jamal, dan Nahrawan, Qais merupakan salah seorang pahlawan yang berperang tanpa takut mati. Dialah yang membawa bendera Anshar dengan meneriakkan:

 Bendera inilah bendera persatuan

 Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan

 Tidak akan gentar andai hanya Anshar pengibarnya

 Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya.

 Qais telah diangkat oleh Ali sebagai gubernur Mesir. Tetapi, mata Mu’awiyah selalu mengincar wilayah ini. Ia memandang Mesir sebagai permata berlian yang paling berharga pada suatu mahkota yang sangat didambakannya. Oleh karena itu, tidak lama setelah Qais memangku jabatan sebagai amir di wilayah tersebut, Mu’awiyah merasa khawatir bila nantinya Qais menjadi halangan bagi cita-citanya terhadap Mesir sepanjang masa, bahkan sekalipun ia meraih kemenangan nanti atas Ali dengan kemenangan yang menentukan.

 Selanjutnya Mu’awiyah berusaha dengan tipu daya dan muslihat—yang tidak terbatas pada satu bentuk saja—untuk membangkitkan amarah Ali kepada Qais, sampai akhirnya Ali memanggilnya dari Mesir. Pada kesempatan inilah, Qais memperoleh kesempatan yang menguntungkan untuk mempergunakan kecerdasannya menyusun rencana. Dengan kecerdasannya, ia tahu bahwa Mu’awiyah yang memegang peranan dalam memfitnahnya, setelah ia gagal menarik Qais ke pihaknya untuk memusuhi Ali dan mempergunakan kepemimpinannya untuk membantunya.

 Untuk mematahkan tipu daya tersebut, Qais memperkuat dukungannya kepada Ali dan terhadap kebenaran yang berada di pihaknya. Ali merupakan seorang pemimpin yang saat itu menjadi tempat persinggahan kesetiaan dan kepercayaan teguh dari Qais bin Sa’ad bin Ubadah.

 Demikianlah, Qais tidak merasa sedikit pun merasa bahwa Ali telah memecatnya dari Mesir. Bagi Qais, tidak ada artinya wilayah kekuasaan, tidak ada artinya pangkat, kepemimpinan, dan jabatan. Semuanya itu baginya hanyalah sarana guna mengabdikan diri membela keyakinan dan agamanya. Bila jabatan amir di Mesir itu merupakan suatu jalan untuk mengabdikan diri kepada kebenaran, sikapnya membela Ali di medan laga adalah suatu jalan lain yang tidak kurang penting dan mengagumkan.

 Keberanian Qais mencapai puncak kejujuran dan kematangannya setelah Ali syahid dan Al-Hasan dibaiat. Qais memandang Al-Hasan sebagai tokoh yang cocok menurut syariat untuk menjadi Amirul Mukminin, sehingga Qais pun berbaiat kepadanya dan berdiri di samping Al-Hasan sebagai pembela, tanpa memedulikan bahaya yang akan menimpa.

 Ketika Mu’awiyah mmaksa mereka untuk menghunus pedang, Qais bangkit memimpin lima ribu prajurit dengan penampilan kepala yang dicukur gundul semuanya sebagai tanda berkabung atas wafatnya Ali. Namu, akhirnya Hasan mengalah dan lebih suka membalut luka kaum Muslimin yang telah sedemikian parah, dengan memerintahkan agar menghentikan perang yang telah menghabiskan nyawa dan harta itu, lalu berunding dengan Mu’awiyah dan kemudian berbaiat kepada Mu’awiyah.

 Saat itulah, Qais mulai merenung lagi masalah tersebut. Menurut pendapatnya, sekalipun pendirian Al-Hasan benar, pasukan Qais tetap menjadi tanggung jawabnya dan pilihan terakhir terletak atas hasil keputusan musyawarah. Dia pun mengumpulkan mereka semua, lalu ia berpidato di hadapan mereka, “Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita dijemput oleh kematian lebih dahulu. Tetapi, jika kalian memilih berdamai, aku akan mengambil langkah untuk itu.

 Pasukannya memilih yang kedua, sehingga ia meminta keamanan dari Mu’awiyah yang memberikannya dengan penuh sukacita, karena ia melihat angin takdir berhembus untuk membebaskannya dari musuhnya yang terkuat, paling gigih, serta berbahaya.

 Pada tahun 59 H di Al-Madinah Al-Munawwarah, sosok cerdas yang oleh Islam kelicikannya telah dikendalikan itu pun wafat. Telah wafat tokoh yang pernah berkata, “Kalau bukan karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka.’ Niscaya akulah orang yang paling licik di antara umat ini.” Ia telah tiada dengan meninggalkan nama harum sebagai seorang lelaki terpercaya dalam segala tanggung jawab, janji, dan kesetiaan terhadap Islam.




Thalhah bin Ubaidillah ra

Syahid ketika masih Hidup

Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai. Ibunya bernama Ash-Sha'bah binti Al Hadrami, saudara perempuan Al Ala'. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah. Ia seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua. 
Pada suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya. Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak, "Wahai para pedagang, apakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?." "Ya, aku penduduk Makkah," sahut Thalhah. "Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?" tanyanya."Ahmad yang mana?" "Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda,"kata pendeta itu.
Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, sampai tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah. Setibanya di Mekkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya, "Ada peristiwa apa sepeninggalku?""Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan  Abu Bakar As Siddiq  telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya," jawab mereka.
"Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy," gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.
Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung menemui Abu Bakar As Siddiq dan bertanya: "Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?"  Abu Bakar menjawab: "Betul." Kemudian Abu Bakar As-Siddiq menceritakan kisah Muhammad sejak peristiwa di gua Hira' sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk masuk Islam. 
Usai Abu Bakar As-Siddiq bercerita Thalhah bin Ubaidillah ganti bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar As-Siddiq tercengang. Lalu Abu Bakar As-Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. 
Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memacu dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha'bah. Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar As-Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo sampai darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini. 
Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar As-Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia. Tidak hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah bin Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan sebutan yang didapatnya antara lain "Assyahidul Hayy", atau syahid yang hidup.
Julukan ini diperolehnya dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari samping Rasulullah. Yang tersisa di dekat beliau hanya 11 orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengontrol beliau naik ke bukit tadi dihadang oleh kaum musyrikin.
"Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga," seru Rasulullah. "Aku Wahai Rasulullah," kata Thalhah bin Ubaidillah. "Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu." "Aku ya Rasulullah," kata seorang prajurit Anshar. "Ya, majulah," kata Rasulullah.  Lalu prajurit Anshar itu maju melawan prajurit-prajurit kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.
Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk melawan orang-orang kafir dan selalu saja Thalhah bin Ubaidillah mengajukan diri pertama kali. Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan untuk tetap ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah bin Ubaidillah sendirian bersama Rasulullah.
Saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah bin Ubaidillah, "Sekarang engkau, wahai Thalhah."  Dan majulah Thalhah bin Ubaidillah dengan semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan mengusir agar jangan mendekati Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan Rasulullah sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak sedikit orang kafir yang tewas.
Saat itu  Abu Bakar As-Siddiq  dan  Abu Ubaidah bin Jarrah  yang berada agak jauh dari Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. "Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian," seru Rasulullah. Keduanya bergegas mencari Thalhah bin Ubaidillah, ketika ditemukan, ini dalam kondisi pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan tombak dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah.
Dikiranya Thalhah sudah gugur, ternyata masih hidup. Karena itulah gelar syahid yang hidup diberikan Rasulullah. " Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah," sabda Rasulullah.
Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud dihadapan Abu Bakar As-Siddiq, maka beliau selalu menyahut, " Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya sampai akhir hayatnya . "
Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia memiliki tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah bin Ubaidillah  merupakan salah seorang dari sepuluh orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu satu orang bernilai seribu orang.
Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Thalhah bin Ubaidillah bagaikan sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. 
Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah bin Ubaidillah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat kondisi suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, " Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan? " Maka istrinya berkata, "Uang yang ada ditanganmu itu bagi-Bagikanlah kepada fakir-miskin." Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun.
As-Saib bin Zaid berkata tentang Thalhah bin Ubaidillah, katanya, " Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya."
Jabir bin Abdullah berbicara, " Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta." Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", " Thalhah si konduktor harta "," Thalhah kebaikan dan kebajikan ".
Sewaktu terjadi pertempuran "Al-jamal", Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan  Ali bin Abu Thalib  dan memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah beracun mengenai betisnya, maka dia segera dipindahkan ke Basrah dan tak berapa lama kemudian karena lukanya ia wafat. Thalhah bin Ubaidillahwafat pada usia 60 tahun dan dimakamkan di suatu tempat dekat padang rumput di Basrah.
Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah berharap bisa gugur ketika berjuang bersama Rasulullah Saw. saat menghadapi musuh Islam. Namun, ketentuan Ilahi menghendaki dia tewas di tangan orang Islam sendiri. Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat, "Orang ini termasuk yang gugur, dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan diatas bumi maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah".

Hal itu juga dikatakan Allah dalam firmanNya: 

Artinya : "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya. " (Al-Ahzaab: 23).

Back to top