Diberdayakan oleh Blogger.

Televisi Menyerang dengan Samar





Karena suatu hal mendadak, pernah siang-siang pukul 3 saya sudah berada di salah satu kantor televisi negeri di Jakarta. 

Dalam bangunan tua yang kokoh dan klasik, saya lihat deretan lukisan abstrak digantung di sepanjang lorong. Rupanya kantor televisi ini sudah lama, karena ada tanda tangan pengesahan dari presiden Soeharto tertera tahun 70-80-an. Saya menunggu di lobi dan duduk-duduk di atas karpet, dan samping saya ada bapak-bapak yang berbaring tidur pulas menghampar, terkesan sembarangan. Mungkin lama menunggu giliran juga.

“Itu Gol A Gong Mas, kecapekan.”, kata orang bagian periklanan, menunjuk ke bapak-bapak sembarangan itu. Tangan kiri si Bapak yang buntung ditutupi jaket lengan panjang tebal dan sekejap saya takjub juga. Ia Gol A Gong, orang asal Serang, Banten. “Wong Serang dolananne ning studio tipi”, saya berkata dalam hati. Beliau adalah seorang muslim, pegiat seni kenamaan nasional. Nama aslinya: Heri Hendrayana Lubis. Ialah yang mendirikan “Rumah Dunia”, sarang anak-anak teater dan pusat seni di provinsi. 120 lebih tulisan tangan kanannya telah jadi novel berkelas dan skenario film, jelas jadi prestasi. Sungguh ia orang besar yang tidak malu terlihat “kecil”.
Di ruang tunggu, Gola A Gong yang sudah bangun dan mengelap air liurnya tiba-tiba bersemangat cerita ini-itu pada tamu-tamu sebelum kami rekaman. Cerita ambisinya pada dunia pendidikan dan seni, pada masyarakat muslim Indonesia. Lalu merambat ke dunia media televisi. Pada satu sesi talk show Untukmu Indonesia, Mas Heri menyebutkan sebuah cita-cita: mengubah paradigma pertelevisian. Dituturkan pada masanya ia pernah berkecimpung di salah satu industri media yang ujung-ujungnya mengecewakan baginya, disebabkan clash visi dan misi dirinya dengan keinginan orang televisi.
“Televisi kita tidak mendidik dengan baik.”. Didengar penonton yang sudah terlalu mafhum tentang keluhan itu. Alias, you don’t say. Mas Heri curhat bahwa saat dulu ia giat menulis skenario-skenario film, ia harus membohongi dirinya sendiri untuk menulis alur cerita yang mengikuti pasar dan permintaan. Alur cerita yang ia buat dinilai orang televisi terlalu “sempurna”, hingga terkesan “biasa” dan hambar. Cerita-cerita tentang mentadaburi alam semesta demi mendekatkan pada Tuhan, kehidupan rumah tangga yang harmonis dan islami, atau khazanah penambah wawasan, dirasa membosankan. Karena saat itu Barat jadi kiblat, cinta-pacaran-zina-porno-telanjang-broken home gembor-gembornya menjadi trending topic. Tidak ada naturalisasi budaya dengan budaya negeri sendiri yang lebih condong ke Timur; lebih malu-malu dan menjaga.
Televisi kita adalah Barat. Bahasa Indonesia dengan EYD berantakan, campur aduk dengan bahasa Inggris; bahasa impor. Hingga saat ini bahasa Inggris menjadi kuat di masyarakat dan sebuah a must supaya kita terlihat “berpengetahuan” saat menguasainya. Simak sindiran Sujiwo Tejo soal logat dan bahasa dalam “Ngawur karena Benar”: “Menanggapi banyaknya taburan kata-kata bahasa Inggris dalam pidato awal tahun Presiden SBY di Bursa Efek Indonesia, kita pun bisa santai. Tak usah kita sewot. Kita bisa guyon. Mungkin ini kesalahan kita semua yang terlalu berkonsentrasi pada Gonzales. Kita lupa belum menaturalisasi Presiden SBY.”
Di zaman sekarang, apalagi tiap bulan Ramadhan, televisi menyerang dengan samar.
Kemarin saat sedang sahur, kebetulan sekali saya menyimak sinetron (jarang-jarang). Judulnya “Kami Bukan Malaikat”, sinetron yang ceritanya tentang preman buron yang menyamar jadi ustadz. Alur ceritanya sama seperti yang biasa: pura-pura, cinta-cinta, komedi, air mata buaya. Tapi supaya ada nuansa bulan puasanya dan lebih religius (begitulah kira-kira), tokoh-tokohnya dikemas dengan jilbab dan sorban. Habisnya, ‘kan ini bulannya orang Islam, Ramadhan. Kalau tidak pakai “Masya Allah”, “Astaghfirullah”, nanti tidak laku ditonton. Kalau tidak pakai sedikit gaya logat Arab, tidak ada yang percaya itu sinetron islami dan tidak ada yang memperhatikan. Tidak ada naturalisasi budaya di situ.
Kalau sinetron tidak laku, tidak ada iklan. Kalau tidak ada iklan, bangkrutlah orang televisi. Seperti kantor televisi yang saya datangi itu. Jadi saat Ramadhan, tayangan harus ‘islami’ sedikit. Tapi tetap, cinta-cinta itu harus ada, dong. Kalau tidak ada, tidak seru dan menggelitik. Antar ustadz dan ustadzah muda yang belum menikah lalu kesengsem satu sama lain di masjid. Bukan zina, kok. Serius. Laki-laki dan perempuan boleh saja berduaan, asal berbusana muslim yang rapi. Malah ada adegan “ustadz” menyandarkan kepala pada pundak ustadzah menor (saya lupa namanya) yang bukan muhrimnya, lalu muncul musik-musik melankolik dan slow motion. Tidak masalah, ‘kan tidak disengaja.
Atau ada lagi yang lebih seru. Atas nama menyambut Ramadhan yang penuh “berkah”, hampir semua stasiun televisi bilang bahwa kita ‘boleh’ pesta dan joget-joget dengan diiringi musik a la Islam (nyatanya, tidak ada musik “islami”) di panggung sampai larut, ditambah sedikit ceramah manis dari ustadz (atau artis?). Masyarakat muslim Serang, Depok, Bekasi, dan sebagainya jadi batal tarawih dan memilih untuk ikut nyanyi-nyanyi saja. Lagi-lagi kata televisi, mendendangkan syair-syair pujian pada Tuhan itu bisa berarti “ibadah” juga, bisa menggantikan tiap sujud dan ruku’. (padahal kita semua tahu agama apa yang cara ibadahnya seperti itu). Karena malam Ramadhan itu “berkah”, bolehlah kalau kita bersenang sejenak. Konser-konser tiap malam itu bernamakan “Konser Islami”, liriknya yang berisi lantunan ketuhanan, membujuk dengan sangat halus dan terlihat sesuai dengan kultur masyarakat muslim.
Inikah “islami” dan “mendidik” yang Mas Heri maksud? Saya tidak begitu yakin.
Sedihnya kalau mengetahui secara wajar bahwa kita diracuni pelan-pelan. Kompas masyarakat kita bukan lagi Al Quran, Sunnah, atau apalah. Tapi televisi. Ia jadi kompas ngaco yang menukar-nukar imaji antara “benar” dan “salah”. Tiap potongan gambarnya adalah dalil, tiap iklannya adalah hadits, dan tiap suara yang keluar dari speaker adalah dzikir. Salah satunya, ia mencoba meyakinkan pemirsa bahwa mereka adalah role nyata dalam adegan-adegan sinetron tersebut. Atau paling tidak, mencoba mewakilkan perasaan-perasaan. Kotak ajaib ini mewahyukan perintah-perintah yang lebih magis dan menarik untuk ditaati umat pemirsa. Samar-samar terkesan apa yang didoktrin adalah memang “benar”. Lalu kita alpa, dan jauh dari yang Nyata.
Meskipun tidak dipungkiri banyak juga yang benar-benar mendidik. Misalnya ceramah dari para ustadz kondang yang “asli” ustadz, atau suara riuh rendah ibu-ibu “Curhat dong!”. Saya juga suka menyimak. Tapi lagi-lagi samar: antara ceramah yang berisi, dengan ceramah yang buat seru-seruan. Kaum intelegensia muslim yang cerdik memang bisa membedakan itu, tapi bagaimana dengan masyarakat muslim yang awam? Malah tidak jarang yang disorot sebagai ‘alim ulama dalam televisi itu malah terlihat konyol, lebih banyak bercanda, bergaya, dan memalukan diri mereka sendiri. Di sinetron, acara dakwah, wawancara, gosip. Akibat kekeliruan pihak televisi yang barangkali “kurang religius” mengemasnya, banyak pemahaman-pemahaman tentang agama yang melenceng. Kita malah salah paham tentang ajaran Islam, ‘alim ulama yang sebenarnya tawadhu dan shalih seperti direndahkan seruan mereka dengan lawakan-lawakan dan semacamnya. Yang berkualitas hanya terhitung dengan jari. Wrong people, wrong description, wrong perspective, wrong objective, wrong message.
Masih ada dua puluh hari Ramadhan. Selama itu pula, konser-konser “berkah Ramadhan” akan terus digelar di sebaran kota. Selama itu pula iklan sembako (sirup) dan rokok mendayu-dayu bijak dan berdurasi lama. Selama itu pun, kita masih punya kesempatan untuk berpikir ulang ingin seperti apa Ramadhan tahun ini kita isi. Kita bebas memilih, apakah televisi adalah “nabi”, atau Nabi adalah “televisi”. Atau memilih ingin mengikuti mazhab televisi, atau mazhab Imam Syafi’i. “Kebebasan itu fantasi, think again”, kata iklan Tri. Semoga kita semua (terutama saya) bisa terus memperbaiki diri.
Satu hal lagi: setelah lebaran dan Ramadhan berakhir, bagi semua masyarakat muslim Indonesia, jangan pernah khawatir karena tidak menemukan tayangan ‘islami’. Cerita cinta a la ustadz-ustadzah non-muhrim masih akan terus diproduksi; dan Mas Heri Gol A Gong mungkin akan terus kecewa.


Back to top